Kupahatkan Garis Juang

Burung Merak IV

di belakang sekawanan aktivis mahasiswa
dengan jubah ekor merak bermata elang
kuteriakkan suara yang tersedak di tenggorokan
para penganggur letih menunggu panggilan

tajam mataku menusuk wajah bengis
kala matahari bakar amarah aparat
tersulut geram terkam mahasiswa
yang ringkih dan takut pada lapar

di pertigaan tong setan berlumur peluh
kubalut lengan mereka dengan bendera lusuh
saat langit cemas retak disambar suara tembakan

pada peringatan ketiga, mereka merangsek
menolak tunduk di kaki penembak runduk|
dan aku mengurai obsesi penyair tak berbiji

2013/2024




Burung Merak V

di hadapan tubuh-tubuh wagu kaum pergerakan
kuperagakan riwayat hayat duniamu
sukmamu mendidihkan sukmaku
pandang ratusan mata terkesima, terkesima

kepada mereka kupahatkan garis juang
kutanamkan pamfletmu dengan paruh rajawali
bagai halilintar terasa hadirmu menyindir
duplikasi gerakan jalanan tanpa taring

tunailah kusaksikan gejolak mereka
api amarah menjilat-jilat aspal dan sepatuku
tetapi sesuatu belum terjadi, belum terjadi

segalanya berlaga menyatakan kebenaran
versi masing-masing, maka terus saja orasi
toh ujungnya cuma kenaifan dan kesia-siaan

2013/2024




Dunia Hitam

sepasang muda-mudi tengadah ke langit terang
di malam hening sebening mata perawan
kelopaknya pantulkan kuning-merah galaksi
keduanya saling tanya “siapakah aku, kekasih?”

di bukit berleher kunang-kunang biru teknologi
mereka telanjang dada, pasrah ke inti tatapan murni
pada ngarai angin menggerai hijau pembelah beku
membedah batu-batu prasangka, pikir dan haru biru

kabut siluman metropolitan mengantar hawa panas
hitam legamnya mengabarkan pertarungan
dan mereka berciuman melepaskan jubah agama

kegelapan pun tercipta bersama hitam dunia
labirin pengetahuan membentang di segala benua
kekacauan terus diputar dari wacana ke rencana

2013/2024




Pesan Ibu dan Puisi yang Nyaris

1/
jangan gantung cita-cita di batang cangkul
junjung setinggi gala matahari yang memukul
ladang tandus saat musim tanam tembakau
biar pungungg petani menanggung dera
tungganglah doa bagai joki karapan
jangan kendor, teruskan pacu
hingga terbayar kontan setiap peluh kental
yang tiap tetesnya menjelma sejadah alam.

pesan ibu di bulan agustus harum tembakau
yang kusimak dengan telinga jiwa jingga muda
sambil meniti pematang lembab di belakangnya
meniru cara bapak berjalan memikul rinjing
di pematang waktu usiaku kanak-kanak
bapak tak banyak bicara tetapi tegas
ibu suka bicara tapi tidak cerewet.

kau mesti ngerti di usia beranjak dewasa
yang segera bertemu jalan-jalan kembara
di sepanjang langkah menempuh dunia.
jangan lupa yang lima waktu, selalu doakan
ibu-bapak pun yang di alam kubur.

ibu duduk sejenak di gubuk terbuka
aku mengangguk, mencerna, menunduk
lalu menghafal wajah ibu sesegar daun tembakau
ibu mendongak ke langit dan meluaskan pandang
ke sekujur tanaman tembakau berdaun lebat
senyumnya menetaskan arti berkehidupan.

2/
hidup harus diterima, dijalani, disyukuri
dan biarkan alami tanpa menentang hukum alam!

di kota yang ramah dan murah senyum
rindu menjelma sungai berarus deras
hujan november memacu debar
pada debur hati memanggil ibu lewat puisi
yang nyaris mustahil selesai dituliskan
saat wajahnya bekilau di langit timur.
maka kudoakan tidurnya tanak sampai subuh
kugenggam getir biar tak getar pada lubuknya
tempat berlabuh kapal karamku.

3/
suara ibu kusimpan di lemari kayu
usai kututup percakapan telepon
tiba-tiba sunyi, lalu gemuruh dalam dada
mata pisau terlintas mendelik tajam
saat gerimis mata ibu basah di mataku
sebelum ingatan teriris-iris tajamnya ingin

jangan gantung cita-cita di batang cangkul
junjung setinggi gala matahari memukul-mukul
ladang tandus saat musim tanam tembakau
jadilah joki karapan tanpa melepas pacu

kini aku mengerti, upaya menjangkau ingin
tak semudah menggenggam angan di angin

2008-2024




Serenada Kumbang

kumbang terbang, seorang kakek pensiunan guru
siram tenaman di pekarangan bersama sang cucu
“mawar di belakang pendopo jarang kuntum,”
kata kakek kibaskan tangan pada kumbang
aroma tanah menyeruak, air diserap akar
ujung ranting timbul kuncup-kuncul kecil
lalu cucu papah kakek ke kursi rotan di beranda
teh diminum dan baca koran cetakan terbatas.

“kumbang itu sendirian, kesepian seperti kamu!”
ledek kakek pada cucu yang merajuk cemburu
menyeringailah cucu sambil buka story wa
dan kakek menutup koran, teh diminum
lalu tumpahlah kisah lama.

“bunga kesturi kusumpingkan
kala taman kota sedang indah-indahnya
lalu kumasuki putih kalbunya yang perawan
dan kunyatakan isi hati untuk mengawininya
angin lembut meniup rambutnya ke pundakku
terucaplah kata berkenan dari bibir nenekmu
hening sejenak di mata yang bening…”

cucu makin penasaran, kakek letakkan gelas.
“setelah pertemuan itu rindu menyerbu
sesekali campur cemburu hingga janur kuning
kakek dan nenek melengkung…”

“sesederhana itu menikahi nenek?”
desak cucu dan kakek angkat gelas
diam sejenak, matanya jauh menatap

kumasuki kalbumu menurut cara leluhur kita
cara paling purba yang bernama cinta
tidak liar, tidak nakal, tetapi masuk akal
karenanya aku mengawinimu,
bagai gendam kuucapkan itu ke nenekmu.”
cucu menatap kumbang di pucuk daun
pecahlah kesedihan kakek:

“seperti kumbang itu kini kekek sendiri
dan berharap segera bertemu nenekmu di surga”
hinggaplah kumbang di rekah bunga!

2024

Bagikan:

Penulis →

Selendang Sulaiman

Kelahiran di Sumenep, 18 Oktober 1989. Kini mukim di Jakarta. Puisi-puisinya tersiar diberbagai media massa baik cetak maupun elektronik serta di sejumlah antologi bersama. Buku Puisi Tunggalnya: Omerta (Halaman Indonesia, 2018). Saat ini sedang menyiapkan buku puisi keduanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *