DI ERA kiwari, pengarang atau seniman memiliki tempat yang penting dan vital, karena sebuah karya sastra selalu diidentifikasikan dengan pengarangnya. Dalam konteks ini, karya dianggap sebagai bentuk ekspresi jiwa dan representasi si pengarang terhadap realita yang ada di sekelilingnya bahkan menjadi biografi si pengarang itu sendiri. Karena karya sastra dalam diskursus modernisme pada umumnya bersifat authorsentris, atau berpusat pada si pengarangnya.
Seperti kata Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Hipersemiotika menyatakan bahwa karya-karya seni dan literatur moderniseme selalu berpusat pada pengarangnya yaitu keinginan, nafsu, selera, kegelisahan, kegembiraan, kesenangan atau totalitas hidup mereka.
Pandangan tentang pembaca dan pengarang sepertinya sudah mulai ada semenjak beberapa ratus tahun yang lalu. Pengarang pernah menempati tempat strategis dalam kehidupan umat manusia, bahkan perannya disamakan dengan dewa. Sebagaimana yang ditulis oleh Ronny Agustinus yang mengutip Vargas Llosa “Novel adalah sebuah dunia yang utuh, dan kerja seorang novelis adalah membangun dunia itu, realitas itu, dengan dasar -sadar atau tidak- ketidakpuasan terhadap dunia yang dilakoninya sekarang. Kerena itulah dalam dunia yang dibanggunnya ia menggantikan kekuasaaan Tuhan”
Masuk ke era post truth seperti sekarang peran pengarang tidak lebih hanya sebagai pengarang, yang harus mati ketika tulisannya terlahir ke muka bumi, dan pengarang dengan hati tulus dan ikhlas mesti melepas anak ruhaninya, dan ditafsirkan sebebas apapun oleh pembaca. Maka tepat di titik inilah kemudian lahirnya pembaca dan pembacaan.
Pembaca dan pengarang sama-sama memiliki lapangan kerjanya sendiri, dan mereka saling terkait dan berkesinambungan satu sama lain. Tanpa pembaca, pengarang hanya akan hidup dan menikmati karya-karyanya untuk dirinya sendiri, sedangkan pembaca tanpa pengarang, mereka hanya akan berkutat pada sesuatu yang itu-itu saja, karena tidak ada karya baru yang dihasilkan dari pembacaan. Karena pembaca tidak ada yang mau dan ingin mengarang atau menulis. Maka tepat di titik itulah apa yang dikatakan Seno Gumira Ajidarma menjadi sahih belaka. Dalam Nagabumi, Seno mengatakan bahwa pembaca dan penulis sama-sama bekerja keras dalam lapangan kerjanya masing-masing
“…seorang pembaca sebetulnya bekerja sama kerasnya dengan seorang penulis. Artinya ketika membaca sebetulnya ia juga sedang menuliskannya kembali. Menuliskan kembali bacaan itu untuk dirinya sendiri, menurut kebutuhan dan kepentingannya sendiri”
Sehingga lanjut Seno “Kehormatan suatu bacaan tidak terletak di tangan penulisnya, melainkan justru pada para pembacanya, karena setiap pembaca menciptakan sebuah dunia berdasarkan pembacaannya sesuai dengan semesta di dalam kepalanya. Semakin kaya perbendaharaan pengetahuan dan pengalaman seorang pembaca, semakin berdayalah permbermaknaan yang diberlangsungkannya”
Namun anggapan pengarang adalah dewa belum sepenuhnya hilang hingga sekarang. Karena bagaimanapun kerasnya kita ingin menghapuskan peran pengarang, toh misalkan dalam diskusi-diskusi sastra, maupun bedah buku, pengarang selalu menjadi salah satu pembicara di mana bukunya akan dibedah atau akan melakukan launching. Melihat fakta ini saja kita mesti curiga kepada pandangan tentang pengarang telah mati ini.
Kita harus bersepakat terlebih dahulu, bahwa karya yang berhasil adalah karya yang menghasilkan pembaca dan pembacaan. Begitulah kemudian tulisan bekerja. Tulisan menurut Derrida lebih dahulu dari ucapan, dan lebih utama ketimbang ucapan. Ini tentu saja membikin gempar dunia pemikiran konvensional saat itu. Masa iya tulisan lebih dahulu ketimbang ucapan. Hal ini kemudian dicarikan argumentasinya oleh Derrida. Menurutnya tulisan pada akhirnya ternyata lebih istimewa ketimbang ucapan. Derrida ingin mengkonter pemikiran Sasussure yang menyatakan bahwa ucapan adalah muasal dari segalanya, ucapan lebih dulu ketimbang tulisan. Dan kita tidak boleh menginterupsi ucapan, karena makna ucapan adalah apa yang dibawa oleh si pengucap, akan tetapi itu tidak berlaku bagi sebuah tulisan. Karena sebuah tulisan setelah dituliskan ia lepas dari penngarangnya, penulisnya. Tulisan bisa hidup dengan dirinya sendiri. Ia memenuhi dirinya sendiri tanpa perlu peran pengarang atau penulisnya lagi.
Maka sekali lagi di sinilah kelahiran pembaca dimulai, karena kemudian dari pembacaan terhadap sebuah tulisan akan banyak tafsiran lain lagi tentang tulisan itu, dan tulisan itu akan memperkaya tafsiran yang lain lagi, tulisan dapat dibaca dari berbagai sudut pandang lagi, tergantung kemampuan dari pembaca dan pembacaan itu sendiri. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nyoman Kutha Ratna, bahwa hubungan antarteks tidak sesederhana yang dibayangkan, kompleksitas hubungan dengan sendirinya tergantung dari kompetensi pembaca, makin kaya pemahaman seorang pembaca maka makin kaya pula hubungan-hubungan yang dihasilkan. Di mana pembaca mampu untuk mengadakan asosiasi bebas terhadap pengalaman pembacaan terdahulu yang memungkinkannya untuk memberikan kekayaan baru bagi bacaan yang sedang dibaca.
Maka yang akan terjadi selanjutnya adalah pengarang akan melahirkan pembaca, dan pembaca akan melahirkan pembacaan, dan pembacaan akan melahirkan pengarang baru. Maka benar memang jika kematian pengarang harus dibarengi dengan kelahiran pembaca dan pembacaan, sebagaimana seorang ibu yang melahirkan anaknya kemudian si ibu meninggal dunia sebagai syahid, sepertinya analogi ini terlalu mulia namun bukankah ini sangat tepat untuk menggambarkan pengarang mati setelah melahirkan pembaca. Tak terkecuali tulisan yang sedang Anda baca ini, selamat lahir Nak.
Purbadana, 2021-2024