DI sebuah ruang sidang Dewan Perwakilan Rakyat, pukul 2 Siang.
Setan itu bisa dari golongan jin dan manusia, ingat Pak Bayu Winata pada petuah guru ngajinya dulu. Sekuat tenaga ia menahan kantuk yang menyerang. Semalam, tenaganya terkuras pada percintaan yang dahsyat dengan Irene, mahasiswi jurusan Ekonomi yang menempati apartemennya. Sudah setahun ini, Irene di sana. Sesekali Pak Bayu Winata berkunjung. Mereka bercinta. Irene mengelap keringat di dahi Pak Bayu Winata. Lalu perempuan itu menyaksikan punggung lelaki itu melewati pintu. Tubuh tambun lelaki itu menghilang di balik pintu.
Pak Bayu Winata tak sepenuhnya menyimak isi sidang. Pembahasannya tentang melonjaknya harga bawang putih di pasaran. Menurut ketua dewan, hal semacam ini tak bisa dibiarkan. Takutnya, bila harga terus meroket, rakyat akan semakin terjepit. Para Dewan pun membahas tentang rencana impor bawang. Namun Pak Bayu Winata kelelahan, isi sidang terlewat begitu saja. Tak ada satu poin pun yang masuk ke dalam kepalanya.
Pak Bayu Winata sendiri tak tahu, mengapa kata-kata gurunya itu muncul saat ini. Sangat tidak tepat. Sebenarnya, ia sedang membayangkan bergepok-gepok uang di koper yang akan sampai kepadanya. Dari pengusaha tambang yang ia bantu ijinnya. Pak Bayu Winata sudah memesan jam tangan harga semilyar. Rencananya, akan ia ambil besok siang. Juga tas Hermes untuk Irene seharga seratus lima puluh juta rupiah.
Setan itu kata sifat, yang artinya menyesatkan, kalimat lain muncul di kepala Pak Bayu Winata. Ia memijat kepalanya yang sejak tadi pagi terasa pusing. Sejurus, ia melihat ketua dewan sedang menyampaikan pendapatnya. Waktu terasa begitu lama bagi lelaki itu. Ia sedang menunggu sesuatu. Sebentar lagi, Pak Bayu Winata akan menelepon Irene. Perempuan itu minta candle light dinner di sebuah restoran mewah.
Selepas rapat, Pak Bayu Winata segera menuju mobilnya. Ia akan bertolak ke apartemen Irene. Ia ingin menjumpai perempuan itu sebentar, meminta maaf karena acara makan malam harus tertunda. Perempuan itu pasti merajuk, Pak Bayu Winata sudah hafal betul bagaimana kekasihnya. Ia akan merayu-rayu perempuan itu sebentar, lalu ia akan pulang, menikmati makan malam bersama istri dan dua anaknya.
Di jalan tol, sebuah truk mengalami pecah ban. Posisinya tepat di depan mobil Pak Bayu Winata. Karena kantuk, sopir Pak Bayu Winata tak sempat membanting setir dengan maksimal. Naas. Mobil terguling beberapa kali setelah menabrak pembatas. Tubuh Pak Bayu Winata terpelanting keluar. Bunyi ambulan meraung-raung, membawa Pak Bayu Winata yang napasnya tinggal setengah.
***
Pak Bayu Winata sedang menikmati hembusan angin pantai. Tak tahu bagaimana ceritanya, ia sudah berada di tempat ini. Ketika membuka mata, ia sudah melihat deburan ombak dan langit yang biru. Di sampingnya, sudah ada meja besar dengan banyak makanan. Lelaki itu sempat terkejut. Namun akhirnya bahagia. Kenikmatan dunia ada di depannya.
Tiba-tiba, ia ingat Irene. Perempuan itu sangat suka pantai. Beberapa kali ia mengajak Pak Bayu Winata ke Thailand, menikmati liburan bersama bak sepasang pengantin baru yang sedang menikmati bulan madu. Namun lelaki itu menolak.
“Jangan! Kalau ketahuan wartawan bisa gawat!” ucap Kadir. Irene merengut. Seminggu ia tak mengangkat telepon Kadir.
Pak Bayu Winata menyadari sesuatu. Ia tak berbusana. Di sekelilingnya, tak ada manusia lain. Perutnya tiba-tiba terasa lapar. Segera diraihnya makanan di sampingnya. Belum juga tangannya sampai, semua makanan itu sudah lenyap.
Pak Bayu Winata kebingungan. Tak berselang lama, seorang lelaki datang. Tubunya tinggi besar, kulitnya hitam legam, wajahnya memerah. Di tangan lelaki itu, ada sebuah palu besar. Lelaki itu berdiri di depan Pak Bayu Winata, lalu memukul kepalanya. Seketika kepala Pak Bayu Winata hancur. Sedetik kemudian, utuh lagi.
“Ayo ikut!”
Tubuh Pak Bayu Winata diseret.
“Kemana?”
“Ke neraka.”
“Neraka? Tidak mungkin!”
“Mengapa?”
“Saya kan masih hidup.”
“Jadi kamu belum sadar kalau sudah mati?”
“Tidak mungkin aku masuk neraka, jatahku di surga!” teriak Pak Bayu Winata.
Lelaki tinggi besar itu tetap saja menyeretnya.
“Aku sudah banyak bangun masjid, menyantuni anak yatim.”
Lelaki itu berhenti sejenak. Lalu memandang kedua mata Pak Bayu Winata.
“Puluhan milyar sudah habis buat kubagi-bagi,” sambung Pak Bayu Winata.
Lelaki tinggi besar itu tiba-tiba menghilang. Pak Bayu Winata merasa lega. Ia merasa selamat. Namun tiba-tiba, gulungan ombak besar datang. Tubuh lelaki itu lenyap ditelan ombak. Ia merasakan sebuah tenaga besar menariknya. Lelaki itu merasakan sesak. Air laut mengisi semua bagian dalam tubuhnya. Tak ada yang ia rasakan kecuali sakit. Seperti banyak monster mencabik-cabik tubuhnya dari dalam. Lalu semua gelap. Pak Bayu Winata hilang.
Beberapa saat kemudian, Pak Bayu Winata terbangun dengan sekali hentakan. Ia berdiri. Di sekelilingnya, jurang menganga. Lelaki itu memandang ke depan. Hanya ada bebatuan. Ia merangkak pelan. Lalu pada jarak satu senti dari batu yang hendak diraihnya, sebuah bola besar jatuh dan mengenai tubuhnya.
***
Bu Anggita duduk di samping tubuh suaminya. Selang terpasang di mana-mana. Pak Bayu Winata berada di antara hidup dan mati. Perempuan lima puluh tahun itu tak henti-hentinya menangis. Ia tengah menunggu jam makan malam ketika sebuah kabar datang, mengatakan bahwa suaminya mengalami kecelakaan.
Sudah sepekan Pak Bayu Winata koma. Dokter menyampaikan bahwa kemungkinan kesembuhan sangat kecil. Namun keajaiban masih ada. Bu Anggita memandang suaminya. Sorot matanya kosong. Namun beberapa menit kemudian, di dalam sorot mata itu muncul kebencian.
“Sudah kubilang, tidak usah jadi anggota dewan. Ngurusi pabrik mebel aja malah enak. Gini kan jadinya!” ucap Bu Anggita setengah marah.
“Berapa hektar tanah bapakku kau jual, hah? Belum lagi emas, perkebunan, sawah. Habis buat modalmu jadi dewan.
Hening.
“Sejak jadi dewan, kau malah kayak setan. Lebih setan daripada setan malahan,” sambungnya.
“Jarang pulang ke rumah. Sekalinya mau pulang malah mau mati.”
Tiitt… Tiittt…. Tiiittt…
Hanya ada suara mesin dari alat medis yang tersambut ke tubuh Pak Bayu Winata.
“Uang aspirasi kau makan. Sudah kubilang, itu uangnya rakyat. Malah kau bilang aku cerewet. Kau tak pernah tahu kan kalau doa orang kecil itu makbul?”
Bu Anggita menarik napas sejenak. Ia memandangi tubuh suaminya lagi.
“Itu ada uang sekoper di rumah. Yang bulan lalu sekoper, sekarang sekoper lagi. Mau kau pakai apa uangmu itu? Kumasukkan bank, bahaya. Kubelikan tanah, tak boleh. Itu uang malah cuma ditumpuk di rumah saja.”
Hening lagi.
“Tiap minggu kok ada aja orang kasih hadiah. Jam tangan, tas, baju, sampai mobil pun semua kau terima. Aku simpan semuanya. Lama-lama aku bosan lihat kau pakai barang-barang mahal begitu. Dulu waktu ngurusi pabrik mebel, kau ini setia dan apa adanya. Sejak punya jabatan kok perempuanmu di mana-mana.”
Bu Anggita mulai kehilangan kendalinya. Tangisnya nyaris pecah.
“Sampai kau punya apartemen pun aku sebenarnya tahu. Kau simpan perempuan di sana kan?”
Tiitt…. Tiitt… Tiittt…
Bu Anggita keluar. Pak Bayu Winata sendirian menghadapi takdir ambang hidup dan matinya.
***
Setan-setan dari kelompok jin sedang mengadakan rapat. Khusus membahas Pak Bayu Winata.
“Jadi belum mati juga dia ya?”
“Belum. Kayaknya dia akan selamat.”
“Kalau selamat, berarti tugas kita akan jadi tambah berat.”
“Ya. Kita sudah kehabisan ide. Bunuh orang, sudah. Berzina, judi, korupsi, KDRT, semuanya sudah dia lakukan. Tidak ada ide dosa lagi buat Pak Bayu Winata.”
“Benar. Dia kok malah lebih setan daripada setan ya.”
“Iya. Tapi ada satu dosa yang belum dia lakukan.”
“Apa?” tanya semua jin.
“Membunuh presiden.”
“Jangan! Kalau presidennya mati, banyak setan yang akan jadi gelandangan.”
“Benar juga kamu ya.”
Sebuah kabar datang. Pak Bayu Winata tiba-tiba bangun. Kesadarannya berangsur-angsur pulih. Semua pasukan jin jadi panik. Alasannya satu, kalau Pak Bayu Winata bertaubat, hancurlah investasi para jin itu. Dengan satu arahan saja, semua jin yang jumlahnya ratusan itu segera berkumpul dan menuju kepada lelaki itu. Mereka ingin memastikan bahwa Pak Bayu Winata harus tetap seperti sebelumnya, anggota dewan yang gampang meloloskan undang-undang.
***
Seluruh pasukan jin menyaksikan Pak Bayu Winata membuka mata. Mereka cemas. Ajaibnya, lelaki itu seperti punya ilmu khusus. Tulang rusuknya yang patah cepat tersambung kembali. Ingatannya pun cepat sekali pulih. Tiga bulan saja, Pak Bayu Winata sudah kembali ke kantor, gedung DPR.
Para jin bersorak sorai. Mereka menyambut Pak Bayu Winata di luar ruangan kantor. Lelaki itu terlihat semakin sehat. Baru saja ia menyepakati sesuatu yang penting.
“Bikin dosa apa lagi dia?” tanya salah satu setan dari bangsa jin kepada temannya.
“Biasa. Menteri Perdagangan mau impor bawang putih. Kadir dapat fee.”
“Padahal sebentar lagi panen raya ya. Hahaha,” jawab setan jin lainnya.
“Memang. Yang penting kan dapat cuan.”
Pak Bayu Winata menelepon Irene. Nanti malam, mereka akan bertemu di bandara. Ada agenda piknik mendadak ke Eropa. Irene segera bergegas. Ia mengemas barang secukupnya. Pakaian musim dingin tak boleh tertinggal. Ia sudah membayangkan salju di jalanan Eropa.