Pada Merah Bibirmu


Bangunlah, Laela

Bangunlah, Laela
dari tikaman mimpi buruk
dan biarkan aku hidup
dalam imajinasi yang kau miliki.

Akal dan hati banyak yang rusak,
seperti jalan menuju kampungmu
yang murung;
dikungkung hutang tradisi.

Maka bangunlah, Laela
sebelum kau
dibangunkan
keangkuhan
pembangunan.

Lihatlah tanah ini,
telah mengepulkan asap,
tidak seperti mimpimu yang lesap.

Tidak juga sepertiku
yang barangkali masih ada
meski hanya sebatas imajinasi saja.

2024




Cara Paling Lembut Menyatukan Bahasa Cinta

Pada merah bibirmu, nanti
Bahasaku dipulangkan.

Terimalah—terima.

Sudah lama aku jadi penyair
Memahat kata-kata di tebing takdir
Tapi nyaris hatiku masih diruntuhkan getir.

Dan setelah bahasaku dipulangkan
Pada merah bibirmu, nanti
Maukah bahasamu dipulangkan
Pada bibirku juga?

2023




Ia Telah Lama Ditakdirkan Bersamamu

Bahkan sebelum lahir
atau sebelum menjadi penyair
ia telah lama ditakdirkan bersamamu
tapi cinta kadang ingin tepat waktu untuk bertemu

Rindu tak pernah abadi
karena bisa datang lalu pergi
sementara lubang hati cuma mampu
menampung genangan kenangan masa lalu

Ia telah lama ditakdirkan bersamamu
bahkan sebelum aku berpisah denganmu.

2023




Surat Absurd Untuk Paman

Ini zaman membawaku, paman
Pada kalimat yang menyimpang
Dan menyinggung telinga orang.

(hampir aku gagal)

“Simpan dan rahasiakan saja” balas pamanku
Mengetuk pintu-pintu yang tertutup rapi.

Kendati angin yang tak bisa diajak kompromi
Menguarkan kabar buruk ke bibir dermaga.
Ada yang melempar batu gagasan
Ada yang ikut diam-merahasiakan.

Terima kasih, paman.
Jika nanti aku berhasil,
Paman pasti kembali ke asal.
Asalkan ada cara yang meyakinkan.

Tapi, paman
Jalan itu sudah tidak aman.
Butuh permainan yang lebih menarik.

Tunggu saja!

Yogyakarta, 2023




Bayang-Bayang dalam Sembahyang

Ada yang membayang
dalam sembahyang
seperti ingin menikam
tenteram hati yang pualam

Barangkali, bayang-bayang itu
memburu sebab cemburu
hingga doa yang mengalir
; tak mampu membersihkan
najis nafsu yang kesekian.

Ada yang membayang
dalam sembahyang
melubangi ingatan
melukai harapan

Bayang-bayang itu membeludak
dan memperbudak diri
sebab sisa dosa masa lalu
membusuk dari mabuk khusuk.

2023




Apologi Seorang Petani

Kami anak petani yang tak tahu cara bercocok tanam
cangkul bapak yang diwariskan nyaris kami tinggalkan
Sawah dan ladang sudah lama tak dijamah hujan
Sedang daun mengering, harapan patah di ranting.

Jiwa kami makin karat
Bagai pohon yang mulai sekarat
Akarnya tak kuat memegang ajaran moyang
Padahal sejak dulu sejuk memberikan kasih sayang.

Sungguh kami asing  sendiri
Sudah lama hidung tak menciumi aroma jerami
Hanya aroma asap dari pabrik yang kerap memproduksi mimpi
Dengan beberapa bingkai bangkai
Yang menempel di gedung penuh tragedi kapitalisasi.

2023

Bagikan:

Penulis →

Agus Widiey

Lahir di Sumenep 17 Mei. Alumnus pondok pesantren Nurul Muchlishin Pakondang, Rubaru, Sumenep. Menulis puisi dengan dwibahasa, Indonesia-Madura. Puisinya dimuat diberbagai media, baik lokal maupun nasional. Saat ini belajar di daerah Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *