CATATAN: Musim semi 1942. Ini adalah waktu ke sekian kalinya aku terlempar ke ruang kesunyian dan keterasingan. Merasa seperti orang-orang tua yang hanyut dalam keadaan ingatan yang telah lampau yaitu fragmen-fragmen kenangan mulai bermunculan. Aku bepikir inilah rupa gumpalan waktu yang barangkali kerap hadir kalau orang sedang bermimpi atau ia hanyut pada perenungan. Walau memang seringkali muncul hanya secara sekilas dan tiba-tiba. Dan kala suasana itu tiba, pikiranku akan membuka segala lanskap pancaragam kejadian. Mengibaratkan sebuah lembaran kekosongan dihadirkan berbagai warna ingatan yang abstrak.
Malam ini aku bersyukur ternyata masih bisa menulis di buku catatan ini yang mana untuk pertama kalinya aku mengisinya. Nah, dengan ini aku akan mengisinya dengan khayalan-kayalan yang sekarang hadir seakan nyata ini muncul dari balik jendela kapal. Bersemai dalam ayunan sinar rembulan yang beriak pada permukaan gelombang laut malam. Di atas sebuah kapal penuh sesak, yang akan membawa kami –aku dan orang tuaku, berangkat menuju ke Britania.
Keadaan sekarang memang mengerikan. Eropa telah jatuh dalam kabut racun dan teror. Oh, Demi Bapa Maha Pengasih yang tidak pernah menelantarkan hamba-Nya. Aku mohon berilah kami jalan. Dan hari ini mungkin saja Nazi sudah tiba di Amsterdam. Dan orang-orang berbondong-bondong menyelamatkan diri menuju pelabuhan. Sedikit aku ceritakan, tentang sekitar satu malam sebelumnya. Waktu itu, langit dikelebati raungan suara pesawat yang membuat perasaan mencekam. Warta pun memberitakan , bahwa Pasukan Jerman mungkin tak butuh waktu lama melumat Prancis.
Rasanya tak ada lagi harapan. Selamat tinggal Belanda! Ah, aku jadi teringat masa kecilku. Aku membayangkan begini telah keadaan sekarang? Semua seperti berbalik.
Dan kini, di pengapungan ini, antara kegelapan kamar kapal. Aku masih dapat melihat kedua wajah orang tuaku ini dari pantulan sinar rembulan yang menjelaskan garis-garis keriput tersimpul di lelap wajah mereka. Wajah kelelahan itu bersama kilatan putihnya rambut mereka yang dahulu juga kuning seperti rambutku sekarang, telah memudar sama sekali. Waktu sudah memakan usia mereka dan menjadi tua. Dengan demikian, aku lebih menyadari keadaan ini, seperti sebuah lompatan waktu antara lampau dengan sekarang. Kalau lagi aku menyebutkan waktu lampau, maka dari posisi kami berada saat ini, di pengawangan ini, khayalan ini akan terbang pula menuju ke arah timur tenggara nun jauh di sana. Di tempat masa kecilku dahulu, Hindia. Kemudian dari sana pula muncul seseorang lagi kukenang dalam awangan ini. Seorang yang telah tetap jadi kenangan dalam keluarga kami, yaitu babu Ijah.
Babu Ijah yang dahulu pernah jadi bagian warna kehidupan kami lampau. Dari semuanya itu berawal ceritanya:
Akhir masa perperangan di Aceh sudah hampir pada penghabisan. Ayahku datang dari Kampen bersama para prajurit bayaran berbagai negara yang berharap setelahnya bisa mendapatkan kehidupan layak berangkat menuju Sumatera Hindia. Menjadi serdadu kolonial di Aceh. Delapan bulan ia di sana sampai Belanda pun menang dengan tertangkapnya Cut Nyak Dien. Lalu ayahku pensiun sebagai perwira.
“Kita nikmati sisa hidup kita di Hindia yang indah ini saja,” katanya pada ibunda melalui surat. “Tinggal di daerah Banten lebih nyaman sepertinya.” Tambahnya. Dan kemudian di sinilah aku lahir. Tanah kelahiranku.
Di sebuah rumah besar komplek jauh dari rumah-rumah pondokan pribumi, kami tinggal hanya aku, ayah, dan ibunda yang orang lain sebut kami keluarga Joen Roos. Kemudian seorang lagi babu kami bernama Ijah. Pertemuannya dengan orang tuaku pertama bermula sewaktu ayah menunggu ibunda datang di pelabuhan Tanjung Priok dari Belanda. Ketika ibunda menuruni kapal, ayah yang menanti dari kejauhan. Betapa senang ia melihat perut ibunda telah membengkak besar. Bunting. Ia mengandung aku. Ayah terperangah haru. Ia berlari kemudian mendekapkan ibunda dan mencium keningnya. Baginya kedatangan ibunda ke Jawa merupakan hadiah terbesar, belum lagi ibunda mengandung aku. Dari setelah semua kekerasan ia rasakan karena perperangan, seperti kerasnya ia merasakan dinginnya senapang yang ia pegang di hutan rimba raya kala melawan musuh di Aceh. Suasana ini meluluhkan hatinya yang sedang berdera kesepian teramat sangat.
Tak lama berselang mereka saling haru melepas rindu di bawah kapal besar itu, tersentak mereka dikejutkan oleh salah seorang serdadu memukuli seorang wanita. Serdadu itu tampak marah besar karena wanita tersebut berusaha menyelinap masuk kapal secara ilegal. Ia tetap meraung, memohon-mohon: “Biarkan aku pergi ke Belanda. Aku mau jumpa dengan kekasihku.” Tentu orang-orang tidak percaya, “bagaimana bisa seorang wanita pribumi paria ini punya kekasih orang Belanda?” pikir mereka, atau yang lain lagi terbenak di hati mereka yang melihat kejadian itu. “Mungkin gundik Meneer.” Bisik mereka memperhatikan.
Ayah pun datang segera menghampiri kemudian bertanya pada wanita itu darimana asalnya dengan bahasa melayu dari pelajarannya selama di Hindia ini,
“Dari Malang, tuan,” jawab wanita itu pada ayah.
“Siapa hendak kau temui di Belanda?”
“Kekasih saya, tuan. Namanya ….. Tuan mengenalnya?”
“Niet, kau tidak bisa seenak saja. Harus tahu aturan, pelayaran dikenakan banyak gulden untuk membayar. Jika sudah punya kau pasti diberi izin.”
“Biar sahaya jadi abdi di rumah tuan, agar bisa mengumpulkan uang untuk berangkat.” Lantas ayah menjelaskan pada ibunda yang sedang mengandung itu. Ibunda memberi izin. Rumah juga butuh babu untuk membantu pekerjaan rumah katanya. Mereka pun berangkat menuju Banten.
***
Ayah ditugaskan sebagai asisten administratur pabrik kertas yang tak jauh dari kota, kira-kira kurang lebih setengah jam perjalanan dari rumah ke arah utara jika naik kereta api. Saat itu aku ingat telah berumur 12 tahun. Aku lahir dengan diberi nama Imanoeel Joen Roos, sebagai nama akhiran yang merupakan nama besar keluarga kami. Jadi nama panggilanku cukup Imanoeel saja, namaku ini katanya berasal dari alkitab yang berarti, ‘diberkati Tuhan’.
Tumbuh cukup riang di kota ini. Kendati aku lebih menikmati hidup dengan bermain sendirian ketimbang bersama anak-anak lainnya, anak yang berasal dari satu tempat kelahiranku ini. Karena dirasa kami sangat berbeda, Juga perawakan terlihat berbeda, perbedaan itu benar-benar mencolok. Aku sendiri memiliki kulit yang putih, berpupil mata biru sedang mereka memiliki kulit sawo gelap dan dari cara berpakaian hingga cara bertingkah laku, senyatanya sungguh benar-benar berbeda sama sekali. Salah satunya, ketika orang-orang tua mereka datang ke rumah kami, mereka datang sambil menunduk-nunduk sembah. Sedang dari ayah dan ibunda tak pernah melakukan hal yang sama. Kadangkala datang orang-orang jahil pengintip melemparkan batu-batu kecil ke jendela rumah kami. Untungnya babu Ijah yang selalu siap bertugas mengusir mereka yang ternyata hanya sekumpulan anak-anak nakal. Dan atas jasanya ibunda yang sudah mulai bisa bicara menggunakan bahasa melayu. Sebaliknya ibunda memberi pelajaran kebiasaan atau adat istiadat orang Eropa umumnya pada babu Ijah.
Tapi satu hal yang masih terbesit dan begitu melekat dalam ingatanku, pernah aku lihat sendiri babu Ijah membawa sebungkusan serat daun yang sudah mengering dalam bungkusan kain kemudian ia pergi ke belakang halaman terbuka di belakang dapur. Waktu itu ayah dan ibunda belum pulang, dengan diam-diam aku mengintip penuh penasaran, babu Ijah sedang menghisap sebatang rokok. Mulutnya mengepuli asap, ia duduk di sebuah pokok kayu yang sudah ditebang dengan kaki bersilang, matanya menuding ke langit ufuk. Lantas kepulan-kepulan asap terombang-ambing oleh angin naik-turun dan berkisar di antara wajah hingga kembannya. Ia mirip cerita-cerita “Gadis Kretek” yang pernah kudengar. Mungkinkah ia? Aku tak sempat mencari tahu.
Pernah suatu ketika, aku berkelahi dengan seorang teman, saat permainan bola berlangsung. Karena entah perselisihan apa aku lupa. Kami saling melayangkan pukul, yang lain-lain ada yang menyoraki, “Ayo-ayo, pribumi harus menang.” Tidak tahu juga darimana perkataan itu berasal, sedang aku hanya berfokus pada musuh yang akan kukalahkan ini.
Tak lama aku pulang dan sampai di ruang tamu, babu Ijah tergopoh-gopoh lari ke arahku, “Tuan muda Roos!” Ia agak bergetar tangannya melihat dua lebam di wajahku ini.
“Aku menang! Lawan pribumi itu,” kataku padanya.
Sontak kaget ia, tapi hanya berkata, “Jangan main dengan mereka-mereka lagi.” Ia pun bergegas kembali ke dapur. Aku hanya diam dan turut perkataannya, dan tak lagi bermain dengan mereka-mereka. Sepertinya babu Ijah paham akan ketidakcocokanku terhadap yang lainnya.
Setelah kembali dari dapur, ia membawa semangkuk cairan padat yang sepertinya lumatan dari lembaran-lembaran daun sehabis ditumbuk. Lantas dioleskan di lebam wajahku. Mula-mula jari-jemari tangan kirinya menyentuh daguku, dengan pelan ia toyongkan agak ke atas, “Tahan sebentar sinyo.” Dengan lembut. Kemudian tangan yang lain mengolesi. Aku mendesis ngilu. Tapi selintas terlihat wajah babu Ijah agak dekat denganku. Parasnya yang kesungguhan, dan membuat aku menyadari betapa ia begitu memprihatinkan aku.
Saat malam tiba, kedua orang tuaku menanyaiku kenapa wajahku bisa lebam seperti itu, aku jawab dengan sejujurnya, dengan bangga, “aku menang!” Tapi hanya riasan cemas yang tergambar di wajah mereka. Ibunda menggigit bawah bibirnya seperti jengkel kemudian ia tuding ayah dengan tatapannya. Esok harinya orang tua dari teman yang aku pukuli itu datang meminta-minta maaf di hadapan orang tuaku, sedang temanku itu tidak kulihat ada bersama mereka. “Tidak ada yang boleh menyakitimu, walau anak regent, bahkan regent-nya sekali pun.” Ayah memperingati.
***
Babu Ijah adalah orang yang giat. Sebagai wanita ia aku kagumi karena pengetahuannya serta kehandalannya, seperti berkebun hingga mengurus peternakan milik ibunda yang baru dibangun di halaman belakang rumah kami yang luas. Oleh karena itu, ibunda mengangkatnya sebagai mantri dalam urusan itu di samping statusnya sebagai babu. Setiap setelah aku belajar dengan guru privatku, aku langsung saja bergegas ke halaman belakang rumah. Aku senang bermain-main di sana. Melihat kuncup buah jagung mulai berkelopak. Ada dua orang dipekerjakan untuk membantu babu Ijah mengurusi ladang dan ternak, dua-duanya memang sudah cukup tua. Orang-orangnya tak banyak juga bicara, hanya sibuk mengurusi kebun dan kandang. Selepasnya mereka diberi beberapa catak melalui tangan babu Ijah lantas pulang.
Kemudian saat panen pun tiba, orang-orang berdatangan dengan bakul-bakulnya untuk mengangkuti jagung-jagung agar dibawa ke pasar. Pemasukan kami bertambah. Sebetulnya itu hanya untuk perkara hobi saja bagi orang tuaku. Tidak ada niatan untuk berbisnis. Tapi juga hal yang sekedar sampingan itu cukup menguntungkan juga. Jadi memang begitulah jalannya. Tapi tidak bagi babu Ijah, aku begitu terpesona oleh kelihatannya dalam mengurus bisnis ini. Seakan ia adalah pengusaha handal dari Eropa.
Hingga penyesalan datang pada suatu ketika, siang itu babu Ijah baru selepas belanja dapur. Ia lupa pada pesananku. Aku kesal, dan terucap di hadapannya: “Gundik.” Ia terperangah mendengar kata itu. Suatu kata tak pantas yang tiba-tiba saja keluar dari keegoisan diriku dan aku pun tidak ingat pernah belajar darimana. Dia tak menyerang balik, hanya diam menitikkan airmata. Kemudian disapunya sendiri airmatanya yang jatuh diam-diam. Tersenyum. Aku masih juga tidak sadar dan tetap melanjutkan kekesalan. Aku akan mengadu kepada ibunda kataku dalam benak. Tapi tak pernah aku sampaikan. Sejak itu, terjadi perubahan padanya. Aku rasakan keganjilan itu. Kasihnya yang tulus hilang begitu saja. Hanya kepalsuan. Segala ucapan perhatiannya padaku malah seperti mesin telah diatur tindak-tanduknya. Ia sudah kehilangan hati. Aku merasa menyesal, dan penyesalan itu tetap tersimpan rapat di dada.
Ia terus mendapat pujian dari orang tuaku tapi tiba-tiba di malam yang dingin menusuk seperti yang aku rasakan sekarang. tiba-tiba babu Ijah meminta mohon agar diizinkan beberapa minggu untuk kembali ke Malang lantaran orang tuanya sakit. Orang tuaku dengan berat mengizinkan. dahulu sebelum dirinya berangkat dari kampungnya, dia sudah pamit pada orang tuanya untuk menyusul kekasihnya ke Belanda. Tapi semuanya gagal, barangkali, atau ia tetap memiliki semangat untuk memenuhi cita-citanya? Dan ia pun berangkat dari rumah lalu tak pernah kembali lagi.
Paginya, aku baru bangun dari tidurku, aku sudah niatkan diri untuk meminta maaf pada babu Ijah. Aku mencari sekeliling rumah, hingga ke halaman belakang. Tidak ada! Dan sekiranya aku kembali di ruang tamu, terlihat seseorang sedang menyapu. Wanita berkemban dengan lingkar sarung batik bercorak bunga naga dari pinggang hingga ke ke bawah lutut. Aku pun segera berlari ke arahnya, merangkulnya dari belakang. “Maaf atas kelancanganku.” Pertamakalinya aku mengucapkan kata yang menghormati terhadapnya.
Akan tetapi yang aku peluk itu malah berbalik. Menggigil takut. Lantas aku pandangi wajahnya, “tuan…?” Dengan getaran hilang-timbul dari suaranya. Dia bukanlah babu Ijah. Aku melepaskan rangkulaku padannya; ibu dan ayah datang dari balik daun pintu ruang tamu terbuka. “Mana babu Ijah, ayah… bunda…?”
Balik ke kampung halamannya sementara, kata mereka. Babu yang baru itu pamit ke belakang dapur dengan malu-malu. Ayah dan ibu menghampiriku, memeluki aku dengan lembaran-lembaran surat terayun-ayun di tangannya. “Dua hari lagi, kau akan berangkat ke Belanda. Nanti kau tinggal sama dengan pamanmu, bersekolah dan hiduplah di kampung halaman sendiri. Di sanalah tempatmu berasal.”
Aku perlahan terisak-isak. Menangis. Kemudian lari ke kamar mengurung diri. Berbagai hal dalam pikiranku saat itu adalah keurungan yang tiada lagi tahu di mana ditempatkan. Selintas saja, terngiang dari ucapan ayah tentang kampung halaman sendiri, “tidak!” Dalam benakku bersuara. “Bukankah aku di lahirkan di sini?” Lagi haluan itu berubah pada tentang dosaku terhadap babu Ijah. Dan aku untuk pertamakali itu, menjadi seorang pelamun. Dan lamunan itu berubah setiap kala waktunya, –menjadi seorang pengenang-ngenang hingga kelak dewasa.
Beberapa bulan sudah aku di Belanda. Bersekolah, menyesuaikan diri bersama dunia yang sungguh-sungguh berbeda sama sekali. Tak pernah terbayang padaku. Padahal aku yang pernah membanggakan diri dengan tata cara kehidupan asalku waktu di Hinda. Ternyata baru aku sadari terasa begitu asing. Di sini aku hanya merasakan kekakuan keadaan, yang pernah merasai dirinya sudah paling terdepan tapi kini tak bergerak sama sekali.
Sampai pada akhirnya surat datang, Ayah dan ibu ternyata sudah dalam perjalanan ke Belanda. Surat itu datang dari Singapura, mereka masih di sana untuk beberapa waktu. Yang tertulis dari salah satu isi surat mereka, menyebutkan: babu Ijah tidak kembali. Tiada kabar tentangnya. Jadi, tidak lama setelah keberangkatanku, Hindia tengah perlahan merebak wabah Pes dan puncaknya setelah tiga minggu aku sampai di Belanda. Wabah menyeruak dengan pesat, mengakibatkan banyak kematian dan rata-rata itu adalah orang pribumi. Daerah terbesar yang mengalami itu adalah Malang, asal kampung babu Ijah. Kemudian itu orang tuaku berpendapat bahwa babu Ijah terjangkit Pes dan jadi korbannya. Aku berduka. Tiada janjinya dan janjiku terpenuhi, kami malah terpisah lebih jauh lagi. Aku hanya bisa berdoa.
Kesekian isi catatan ini sebagai percikan kenanganku dalam benak. Membuyar, menyergap masuk-keluar lantas pun hilang berganti. Sebagai hasil proyeksi pengawanganku yang melompat-lompat mengikuti situasi di mana aku ingin melaju ke sana. Segala halnya bergerak berubah dalam lamunan riak ombak yang warnanya dipancari sinar rembulan, berderak-derak di bawah kapal. Aku menuju dunia keasingan baru. Dan dengan demikian catatan pertama dan terakhir ini aku akhiri.
***