SORE itu di belakang istana negara, di bawah pohon sukun Presiden yang baru terpilih sedang duduk merenung seorang diri. Ditemani segelas kopi, sebungkus rokok, dan buku Anak Semua Bangsa, sang presiden menyandarkan kepalanya di antara kedua tangan. Jika sudah begitu tidak ada yang berani mengganggunya. Tidak ajudannya, tidak juga jin penunggu pohon sukun.
Sebagai seorang presiden yang dipilih secara demokratis yang menjadikan rakyat sebagai tuannya ia sadar cita-cita luhur bangsa ini diletakan di atas pundaknya. Karena hal itulah ia pusing alang kepalang memikirkan permasalahan akut bangsa ini yang belum terselesaikan.
Semua itu bermula saat para menterinya memberi laporan yang tidak akurat. Serampangan. Dengan penuh percaya diri si menteri menyebut jika kemiskinan di Indonesia nol persen alias tidak ada. Dengan kata yang lebih sederhana si Menteri Ekonomi itu ingin mengatakan, tidak ada rakyat Indonesia yang kelaparan. Stok beras melimpah. Pemuda-pemudi Indonesia juga patut dibanggakan. Mereka gigih, ulet, cerdas, dan inovatif. Inilah saatnya Indonesia menjadi negara super power menggantikan China yang hancur luluh lantak akibat perang melawan AS dan sekutunya di Laut China Selatan.
Tidak hanya Menteri Ekonomi yang membuat Presiden kecewa, sebab belakangan diketahui laporan yang disodorkan Menteri Pendidikan juga ngawur. Katanya, tidak ada anak muda yang buta huruf. Semua penduduk muda Indonesia melek aksara. Terlebih kawula muda, mereka keranjingan sastra. Sehari saja tidak membaca puisi hidup mereka seperti tidak lengkap. Selalu ada yang kurang bagai melewati malam Minggu tanpa bertukar ciuman dan pelukan dengan kekasihnya.
Betapa marahnya sang presiden usai mengetahui para menterinya berani membohongi dirinya. Semua itu baru diketahui saat sang presiden melakukan kunjungan kerja di sebuah daerah tidak jauh dari Ibu Kota Nusantara. Presiden tersentak kaget, bahkan jantungnya nyaris meletus keluar dari dadanya saat mendapati seorang anak muda bertubuh kurus dan kemampuan berpikirnya bikin mengelus dada. Bayangkan saja di usianya yang sudah genap 21 tahun, anak muda itu tidak bisa membaca. Betapa marahnya sang presiden hingga memanggil kepala sekolah, para guru tempat si anak muda itu dulu pernah belajar. Tidak itu saja, camat, bupati, dan gubernur, Menteri Ekonomi, dan Menteri Pendidikan ikut pula dipanggilnya.
Di rumah si anak muda tadi yang kecil dan kotor—yang lantainya masih beralaskan tanah mereka semua dikumpulkan. Dengan tubuh bergetar mereka menyampaikan apologianya menjawab pertanyaan presiden yang sedang marah.
“Sebagai seorang guru aku sudah menjalankan proses pembelajaran dengan berpegang teguh pada pedoman kurikulum yang terbaru,” kata salah seorang guru mewakili yang lain saat ditanya sang presiden kenapa anak muda itu tidak bisa memahami isi teks bacaan dengan baik.
“Pekerjaan yang tersedia membutuhkan keahlian dan kecakapan mengoperasikan komputer. Anak muda itu gagap teknologi. Menjadi wajar jika ia tersingkir dari persaingan,” kata Menteri Ekonomi dengan wajah pucat pasi bagai mayat saat ditanya presiden kenapa anak muda itu masih menjadi beban keluarga alias pengangguran.
Setelah diam beberapa saat Presiden berujar dengan suara meninggi, “Kenapa anak muda ini gagal beradaptasi dengan kemajuan zaman untuk memenuhi kriteria Generasi Emas 2045 ini. Mana orang tuanya? Kenapa anak muda ini bisa terlempar ke dunia dengan keadaan yang menyedihkan seperti ini?”
Suhu udara yang mencapai 40 derajat celcius menambah suasana seperti di neraka. Anwar bapak anak muda yang sedang menjadi pusat perhatian itu bangkit dari tempat duduknya kemudian berujar setelah mengumpulkan keberaniannya, “Maaf Pak Presiden, janganlah semua kesalahan ini diletakan di atas pundak anak kami. Juga kepada kami sebagai orang tua. Aku hanyalah seorang pekerja serabutan yang hanya menerima upah seuprit dan tinggal di sebuah daerah yang luput dari perencanaan nasional. Dari awal aku dan istriku tidak merencanakan kelahiran anak semata wayang kami ini untuk lahir ke dunia yang amat kejam ini.”
“Maksudnya tidak direncanakan?” Presiden memotong dengan rasa penasaran.
Dari mulut Anwar terceritalah pengalaman hidupnya 21 tahun silam saat ia dan istrinya masih tinggal di Jakarta sebelum memutuskan pindah ke Ibu Kota Nusantara.
***
Anwar beserta isinya, Sopiah, baru satu tahun mengarungi bahtera rumah tangga yang dipenuhi onak dan duri. Keduanya tinggal di pinggiran Kota Jakarta. Sebagai pengemudi ojek online yang penghasilannya tidak seberapa, Anwar berusaha keras menukar rasa lelahnya hingga tulang belulangnya remuk redam demi menjaga dapur istrinya agar tetap ngebul.
Anwar baru pulang ke rumah saat azan Magrib menyeru atau jikalau badan sudah terasa pegal setalah sepanjang siang mengukur panasnya aspal. Sesampainya di rumah setelah mencuci tangan untuk mewakili anggota tubuh lainnya, Anwar makan malam dengan lahapnya setelah sepanjang hari kelaparan.
Setelah makan malam dan ditutup sebatang rokok kretek sebagai pengganti cuci mulut, Anwar membopong istrinya ke tempat tidur berukuran 2 X 2. Di ruangan kecil itu sepasang suami istri itu bercinta dengan nikmatnya.
Tidak perlu tempat yang bersih dan nyaman, romantisme itu berbuah manis. Sopiah hamil. Dari bulan ke bulan perutnya makin besar. Tanpa periksa ke dokter kandungan tiap bulan, tanpa asupan makanan bergizi dan vitamin, perempuan muda itu melahirkan bayi yang sehat. Begitulah alam berkehendak. Siapa saja yang berjuang untuk tetap hidup, maka ia tidak mudah untuk ditaklukkan. Meski tidak direncanakan dengan baik, bayi itu menuntut haknya untuk tetap hidup di perut ibunya.
Anwar masih ingat kelahiran putranya itu bersamaan dengan hari pelantikan presiden ke delapan pada tahun 2024. Anwar juga masih ingat janji presiden saat kampanye.
“Demi menyongsong Indonesia Emas 2045 nanti, ekonomi harus tumbuh. Oleh karenanya mutu pendidikan wajib ditingkatkan. Gaji guru akan kita naikkan. Sekolah akan kita gratiskan. Dana abadi untuk orang miskin akan kita realisasikan,” begitulah Anwar meniru ucapan calon presiden waktu itu.
Sayangnya setelah terpilih, ia lupa dengan janji manisnya. Entah apa yang dilakukannya selama menjadi presiden. Yang Anwar tahu dirinya masih menjadi pengemudi ojek online, istrinya, Sopiah, jualan kopi keliling. Semua itu dilakukan demi membesarkan anak semata wayangnya yang tetap kurus.
Seiring bergulirnya waktu kehidupan Anwar dan istrinya makin berat saat anaknya masuk sekolah. Karena biaya yang kelewat mahal pula, Anwar memasukkan anaknya ke sekolah swasta yang ala kadarnya. Jangankan perpustakaan, toilet saja tidak ada.
Sebagai orang tua Anwar sadar sekolah tempat anaknya belajar ialah sekolah buangan (hanya untuk menumpang hidup para gurunya yang juga kapasitas mengajarnya diragukan). Terlebih Anwar selalu bimbang saat akan membelikan novel Bumi Manusia yang harganya kelewat mahal. Setidaknya Anwar butuh waktu dua jam lamanya untuk berpikir antara membeli novel atau beras, telur, indomie dan minyak goreng.
Nama tahun berganti tetapi nasib Anwar dan keluarganya masih sama: pahit. Begitu pun dengan sang anak yang tidak menunjukkan adanya perubahan. Tubuhnya masih kurus, tidak hanya fisiknya yang menunjukkan keanehan, tetapi juga kemampuan berpikirnya. Bayangkan saja si anak tidak dapat memahami isi kalimat. Ia bisa membaca tapi tidak dapat memahami isinya. Anwar dan Sopiah tidak tahu apa penyebabnya. Keduanya sudah pasrah. Itu terjadi saat anaknya sudah sekolah SMP swasta di pinggiran kota Jakarta—yang lagi-lagi ala kadarnya.
Kini setelah 21 tahun usia anaknya, barulah Anwar dan istrinya sadar jika anak yang dibesarkan dengan susah payah itu bukan kriteria Generasi Emas 2045 yang cakap, inovatif, cerdas, dan sehat. Anaknya sejak kecil ternyata stunting. Itu sebabnya anaknya bertubuh kerdil. Tidak hanya tubuhnya yang pendek, tetapi juga memorinya, kapasitas otaknya yang tidak bisa berpikir panjang. Maklum IQ anaknya hanya 78 poin. Hanya selisih delapan poin dari IQ simpanse. Mendengar cerita Anwar yang begitu menyedihkan Presiden pulang ke istananya dengan berlinang air mata.
***
Hari sudah bernama petang. Presiden belum beranjak dari tempat duduknya di bawah pohon sukun. Seminggu lagi tepatnya 17 Agustus 2045 nanti usia Republik Indonesia genap seabad. Menyongsong Indonesia Emas yang sudah dicanangkan puluhan tahun lalu telah mengganggu pikirannya sampai-sampai sang presiden nyaris gila. Sebab, ia tidak sudi bakal diingat sebagai presiden gagal.
“Baik. sebelum usia republik genap satu abad aku akan mengundurkan diri. Aku telah gagal mencerdaskan kehidupan bangsa dan memelihara fakir miskin,” gumam Presiden dalam hatinya.
***