SUDAH seminggu ini kampung Cempaka geger tiap ba’da Ashar. Sekelompok pemuda yang menamakan diri mereka ‘Laskar Palestina’ berkeliling mengetuk pintu dari satu rumah ke rumah lainnya mengumpulkan donasi uang maupun barang layak pakai untuk saudara Muslim di negeri penuh teror tersebut.
Hal yang mencengangkan ialah sosok ketua laskar, Ari. Berpuluh tahun warga kampung mengenal Ari, hampir tidak pernah melihatnya bergaul bergerombol dengan anak muda manapun. Jika tidak sedang melayani pelanggan yang membeli sembako, Ari biasanya akan duduk berselonjor di bale depan warungnya bermain gawai atau mengopi merokok bersama satu-satunya sahabat dia, Bima.
Sekarang Ari begitu sibuk mengajak orang-orang berpartisipasi, baik secara moriel ataupun materiel dalam perjuangan rakyat Palestina. Ia sukses menarik hati beberapa anak muda yang sehati dan sepemikiran. Bersama mereka Ari membentuk laskar, lalu menyisir tiap rumah di kampungnya.
Tidak satu pun terlewatkan. Pemilik rumah diberi dua pilihan, ingin menyumbang uang atau barang. Mereka yang menolak sedekah akan segera diceramahi Ari dengan menunjukkan berita-berita serangan keji Israel terhadap Palestina, kondisi tragis anak-anak Palestina yang tengah sekarat dan kelaparan, serta ketidakadilan atau standar ganda negara-negara Barat yang pro kaum Zionis.
Warga niscaya berempati, namun ada pula yang cuma melongo mendengarkan itu semua. Pada akhirnya mereka mau tak mau merogoh berapapun sisa uang mereka untuk disumbangkan ke Laskar Palestina. Sedangkan rumah-rumah kosong yang penghuninya masih bekerja di ladang atau pabrik, akan dikunjungi kembali oleh laskar itu keesokan sorenya.
Selain mendatangi rumah warga, laskar pimpinan Ari juga berorasi di lapangan dan persimpangan jalan raya dengan membawa berbagai poster, spanduk, dan kotak amal. Hal ini secara tak sengaja menggusur para pengemis ataupun pengamen jalanan yang biasa beroperasi di sana. Perebutan ladang pencaharian tersebut mengakibatkan pendapatan harian mereka menurun drastis.
Dalam waktu singkat, Ari si pendiam telah menjelma aktivis pejuang Palestina paling militan sekampung Cempaka. Apabila sore menjelang, tugasnya menjaga warung lantas diserahkan kepada istrinya Mei. Tidak peduli apakah si istri sudah selesai di dapur atau sedang menyusui bayi mereka. Dia bergegas keluar memanggil para laskar untuk menjalankan tugas mulia.
Pemuda-pemuda kampung yang digaet oleh Ari sebagian merupakan jamaah satu pengajian yang dipimpin oleh Kiai Ahmad. Sisanya adalah pengangguran yang sering nongkrong sepanjang siang malam di warung kopi bermain gitar atau game online. Hanya satu orang yang bikin Ari kecewa karena belum juga bergabung ke laskar, teman terdekat sekaligus sesama santri senior Kiai Ahmad, Bima. Padahal sewaktu beliau berdawuh ke para santri, Bima turut hadir di sana.
***
Dunia sudah gila. Meskipun sebagian besar negara telah mengutuk dan mengecam Israel dengan sebutan teroris, rasis, dan sadis, tetap tak berhasil menghentikan kebiadaban negara itu terhadap Palestina. Perempuan, anak-anak, fasilitas publik dihantam semua. Dasar iblis!
Saking geramnya, Ari nyaris membanting ponselnya sendiri. Video-video penayangan serangan rudal Zionis yang membom rumah sakit dan sekolah di Rafah menyulut amarahnya. Israel memutus total semua akses warga Gaza dari dunia luar.
“Semua kekejian itu terjadi, dan kita tak berkutik sedikit pun!” pikir Ari memaki.
Sejak agresi militer Israel Oktober 2023 silam, Ari rutin menonton berita-berita tentang Palestina. Di luar urusan mengelola warung dan mengasuh keluarga, ia punya banyak waktu luang berselancar di internet. Dari sana ia memperoleh perkembangan situasi terkini di Gaza. Selain itu, pengajian malam bersama Kiai Ahmad seringkali membahas fenomena akhir zaman yang salah satunya ditandai dengan perang tak berkesudahan antara Israel dan Palestina.
“Sebagai saudara sesama Muslim, kita ikut merasakan penderitaan rakyat Palestina. Mari sama-sama membantu mereka yang sedang dizalim para Zionis. Apapun itu bentuknya, akan sangat berarti,” dawuh Kiai Ahmad dalam pengajiannya.
Dawuh itulah yang membakar semangat Ari untuk menolong saudara-saudara di tanah suci semua agama samawi. Tidak pernah sepanjang hidupnya, Ari memperoleh panggilan jiwa semacam itu.
“Barangkali memang ini tujuan hidupku!” Ari membatin.
“Mudah-mudahan kita bisa menjadi kesatria-kesatria Tuhan yang senantiasa membela Kebenaran. Dan Kebenaran sejati tidak akan tercapai tanpa membela kemanusiaan. Itulah jalan jihad,” ujar Kiai Ahmad seraya memandang teduh para santrinya.
Semua murid tertunduk mendengarkan petuah Kiai Ahmad. Hati mereka resah bertanya-tanya jihad yang bagaimana, dengan cara apa, dan apakah mereka sanggup menjalaninya.
Selama pengajian tersebut, diam-diam Ari menyusun sebuah rencana perjuangan kesyahidan. Ia berkehendak kuat untuk berjihad sebagai relawan di Palestina. Ide ini sangat menggelisahkan sekaligus menggairahkannya.
“Biarlah kutinggalkan Mei dan si kecil Zara. Apabila aku tak mampu pulang, rumah dan warung kuwariskan untuk kelangsungan hidup mereka selepasku tiada. Berpuluh-puluh tahun dalam pencarian, aku yakin inilah peranku sesungguhnya dalam hidup,” Ari bergumam dalam lamunan.
Ide yang semula samar, ia coba realisasikan dengan modal nekat. Ari memutuskan mempengaruhi sebanyak mungkin orang-orang muda yang rela berjuang bersama. Mereka mengorganisir donasi massal, yang digunakan bukan hanya untuk dibelikan bahan pokok, pakaian, dan obat-obatan, melainkan juga agar bisa memberangkatkan pengikut laskar itu ke Palestina.
***
“Pernahkah terpikirkan, berapa lama lagi sisa umur kita? Tidakkah kita mendamba kematian yang syahid?” Ari berusaha meyakinkan para pendengarnya.
Ia berbicara di hadapan calon anggota laskar. Malam itu warung kopi Bang Boim lumayan ramai. Segelintir orang menyimak, sebagian besar lainnya tidak mempedulikan, khusyuk dengan hajat di gawainya masing-masing.
Dilihatnya Bima sedang asik menghisap rokok sambil menerawang ke kepulan asapnya. Ari berkesimpulan sikap sahabatnya itu tidak sudi mendengarkan sama sekali. Hatinya panas tersulut.
“Bim, saya tahu kamu sangat peduli dengan tragedi di Palestina. Ayo, kita ikut perang bersama mereka!” sergah Ari gemas.
Bima sekadar melirik Ari seraya menjentik abu rokoknya ke asbak.
“Nurani kita tersentuh, tapi kenapa kita tak sanggup membantu?” Ari masih merayu.
Sekian detik masih diam, akhirnya Bima menghela napas berat.
“Jika saya pergi denganmu, siapa yang akan menjaga ibu dan istri saya yang sedang sakit-sakitan?” suara Bima pelan, namun tajam.
“Mereka hidup aman dan tenteram di negeri ini. Tapi di Palestina, Bim, puluhan ribu warga Gaza mati dibantai Yahudi Zionis,” Ari menatap lekat kawannya itu.
Teman-teman yang lain terpaku memperhatikan mereka. Berpasang-pasang mata nyalang tidak berkedip.
“Dari Kiai Ahmad kita semua tahu bahwa perang Palestina-Israel sudah menjadi garis takdir hingga kiamat terjadi,” balas Bima datar.
Bima beranjak dari bangkunya, tidak bernafsu memperpanjang perdebatan tersebut.
“Pikirkanlah dulu. Saya tunggu keputusanmu. Yang pasti, Muslim yang baik bukan seorang pengecut,” ucapan Ari meluncur tanpa bisa dicegah.
Perih. Hati Bima seperti ditikam, tetapi ia pura-pura tak mendengar dan tetap berjalan pulang. Langkahnya panjang dan cepat. Berharap dapat meredam gejolak batinnya.
***
Meski matahari telah menjuntai rendah di cakrawala Barat, teriknya masih memanggang punggung Bima. Ia meniti setapak jalan yang mengarah ke kampung. Kedua tangannya kewalahan menjinjing ubi kayu berikat-ikat.
Dari kejauhan Bima menyaksikan Ari dan laskarnya sedang cekcok dengan tetangga pemilik toko. Minuman-minuman kaleng, bumbu dapur, dan botol kosmetik berserakan di pekarangan depan. Semuanya produk yang diduga berafiliasi dengan Israel. Tak hendak berpapasan, Bima lekas berbelok ke arah kediamannya.
Dengan ujung mata, Ari melihat kawannya itu sengaja menghindar. Ia geram tanpa ampun.
“Aku merasakan kemarahannya. Ahh, biarlah Ari menilaiku menurut pikirannya. Itu lebih baik daripada bertemu dan terpaksa bertengkar,” Bima membatin ketika memasuki rumah.
Ia membersihkan diri, kemudian menjenguk istrinya yang terbaring di kamar. Diusapnya kepala Intan dengan lembut. Mata sayunya terbuka sedikit, menatap Bima.
“Mas, tadi kakek itu muncul lagi. Dia duduk menemaniku menangis,” suara Intan terdengar lemah.
Sejak mengalami keguguran enam bulan lalu, kondisi tubuh dan psikis Intan semakin kritis. Ia sering bermimpi aneh dalam tidurnya. Terkadang bercerita anak mereka yang gugur dalam kandungan tujuh bulan itu menari dan tertawa dalam mimpinya. Di waktu lain, Intan mengabarkan ada laki-laki tua berjubah putih dengan sigar di kepala yang selalu mendatanginya tanpa berkata apapun. Kadang juga Intan tiba-tiba terbangun dengan nafas memburu, ia bilang dikejar makhluk-makhluk tak karuan.
“Ooh, ya sudah kamu istirahat lagi. Sebentar mas siapkan makan malam ya,” sambil tetap membelai rambut Intan, mata Bima berkaca-kaca.
Pasca kehilangan anak mereka satu-satunya, terlebih disusul Intan yang jatuh sakit, Bima makin sedikit bicara, bahkan kehilangan minat berkumpul dengan banyak orang. Ia lebih senang tenggelam dalam dirinya sendiri.
“Aku tidak bermaksud mengecilkan perjuangan Ari. Akan tetapi, aku hanya bisa melakukan sejauh yang aku mampu,” Bima berdialog dengan dirinya sendiri.
***
Berhari-hari, berminggu-minggu, Bima selalu menghindari perjumpaan dengan Ari. Di manapun ia mendengar aktivitas dan pergerakan Laskar Palestina di kampungnya, Bima akan langsung melipir dari lokasi tersebut. Terlepas kewajibannya mengurus ladang, Bima memilih tidak keluar rumah. Ia banyak mengunci diri di kamar atau menyendiri di teras belakang.
“Yai, jujur saja saya sungguh terganggu dengan sikap Bima belakangan ini. Apakah ia sudah begitu benci terhadap saya, sehingga tak sudi bertemu saya lagi. Padahal apa yang saya lakukan semata mengajak kebaikan bersama dalam menjalankan perintah Guru,” Ari mencurahkan kegundahan hatinya pada Kiai Ahmad.
“Bukankah menolong rakyat Palestina sebagaimana dawuh yai merupakan upaya menegakkan agama Tuhan? Tetapi Bima lebih memilih keluarganya dan memutus tali persahabatan kami,” suara Bima bergetar menahan gelombang emosi.
“Bagaimana saya harus membujuk Bima, yai? Sebagai murid kesayangan, barangkali cuma yai yang mau ia dengarkan.”
Kiai sepuh itu hanya terdiam dan mengangguk-angguk selama perbincangan. Raut wajahnya tak dapat dibaca oleh Ari.
“Kamu benar, tapi jangan terlalu khawatir, nak. Pulanglah, engkau lelah,” Kiai Ahmad berupaya membasuh api dalam hati Ari. Ia pun berpamit setelah mencium khidmat tangan kiainya.
Di lubuk hatinya, Kiai Ahmad juga merasa perilaku Bima agak berubah. Ia jarang datang mengaji atau sekadar berkunjung ke pedepokan.
Dalam perjalanan pulang dari kampung sebelah, sesekali Kiai Ahmad pernah memergokinya sedang duduk berdiam di tepi sungai, tetapi ia abaikan karena tidak ingin mengganggu muridnya itu.
***
Langit berselimutkan lembayung pekat. Udara sekitar dilapisi warna ungu jingga. Alam terasa ganjil. Dalam setengah kesadaran, Kiai Ahmad mulai mengamati sekeliling. Ia menyadari terduduk di sebuah tebing. Pandangannya lepas jauh dan terfokus ke sebuah dataran dengan kota-kota yang hancur lebur di bawahnya. Asap dan debu mengepul membumbung tinggi. Gedung, jalan, dan bangunan runtuh dalam serpihan. Ledakan terjadi beruntun di beberapa titik. Tubuh-tubuh merana terlempar, melambung kian kemari, berceceran daging-darah di mana-mana.
Kiai Ahmad mengernyit menyaksikan itu semua. Ia bergidik ngeri. Rentetan peristiwa yang terjadi di hadapannya seperti tayangan film bisu. Adegan-adegan yang tertangkap mata berlangsung tanpa suara, suasana terlalu hening. Bagaikan terjadi di ruang hampa. Dirinya mengira-ngira sedang berada di mana.
Dari sisi selatan, orang-orang berseragam militer dengan kendaraan dan persenjataan berat merangsek membabi buta dengan tembakan, pemboman, hantaman, tusukan, tendangan, pembakaran. Wajah-wajah mereka merah menghitam, bola mata mendelik keluar, taring-taring dengan darah menetes di mulut mereka. Tak lagi dapat dibedakan apakah itu wujud manusia atau setan.
Sedangkan di belahan utara, lautan anak-anak dan perempuan menangis darah, tangan mereka menggapai memohon pertolongan. Tubuh mereka tinggal tulang berbalut daging, terkoyak luka di sana-sini. Para lelaki sekuat tenaga menegakkan kaki, bangkit berkali-kali untuk melindungi, meski dihajar bom dan senapan dari berbagai sudut.
Gemetar melihat pemandangan di hadapannya, Kiai Ahmad memejamkan mata. Berharap segalanya lenyap seketika. Tiba-tiba ia merasakan hembusan angin yang sangat kuat, mendorongnya terhuyung. Saat kelopak matanya terbuka, pandangannya mengabur. Kabut terlampau tebal, gumpalan awan bergulung-gulung turun ke bumi.
Tak lama awan itu terburai ditembus sinar emas kehijauan. Dari dalam awan, sosok-sosok putih berkilauan muncul. Seluruh tubuh mereka bercahaya, lebih tepatnya cahaya itu mewujud tubuh mereka. Dengan wajah serupa tanpa ekspresi, jubah dan serban di kepala mereka melambai-lambai dalam cahaya. Jumlah sosok itu ratusan atau mungkin ribuan, menukik bagai kilat, sambil membawa pedang-pedang bermata dua, sebagian di antaranya menunggangi kuda-kuda bersayap.
Pasukan cahaya tersebut terbang cepat ke kerumunan manusia yang tengah membantai kelompok lain. Gerakan dan tebasan pedang mereka seperti angin. Jiwa-jiwa dari mayat yang bergelimpangan terangkat ke langit. Di proses pengangkatan menuju langit tertinggi, jiwa tersebut ada yang dicurahkan kemilau hujan, ada pula yang terbakar hangus oleh kilatan guntur.
Kiai Ahmad menyaksikan itu semua tanpa berkedip. Di waktu bersamaan senyap yang mengukungnya pecah. Ia mendengar gemuruh angin, desing sinar yang memancar, lirih gema yang melantunkan kalimat laa ilaha illallah berulang-ulang. Gaungnya samar, tapi lambat laun jelas dan keras memenuhi seluruh penjuru alam raya. Terserap ke lapisan bumi, lalu dipantulkan kembali ke lapisan langit. Gema itu pun berdenyut di sekujur darah Kiai Ahmad. Air matanya menitik, haru dan khauf membuncah dalam dada.
Di tengah tumpukan kecamuk rasa, bergeming dalam persaksian pertarungan antara makhluk-makhluk yang berterbangan dari langit dengan manusia-manusia haus darah di padang Kurusetra itu, Kiai Ahmad menangkap seraup wajah yang ia kenal melesat bersama wujud-wujud bercahaya. Seperti mengetahui bisik penasaran sang kiai, wajah itu menengok perlahan ke arahnya. Silau, cahaya berbias dari keseluruhan sosoknya, ia tersenyum.
“Bima!” seru Kiai Ahmad kaget, lantas tersentak dari tidurnya.
*****