Foto: Witjak Widhi Cahya/Komunitas Salihara
(Lakon “Tanda Cinta” Teater Koma)
SEUSAI menyimak lakon “Tanda Cinta” Teater Koma di ruang pertunjukan ‘black-box’ Komunitas Salihara Jakarta pada 30 dan 31 Agustus 2024, sebaris kalimat tanya ‘masih adakah cinta di antara kita?” mungkin tak henti mengiang di relung hati dan terus meruang dalam pikiran penonton.
“Tanda Cinta” berkisah tentang kehidupan sepasang suami-istri. Sang suami, telah sejak lama entah sejak kapan, tiada lelah berburu jawaban atas pertanyaan itu kepada istrinya. Bahkan hingga mereka berdua telah berada di usia senja, yang tentu saja telah melewati gugusan suka-duka dalam berumah tangga.
Sang suami terus penasaran karena sang istri tak pernah mau menjawab secara gamblang atas pertanyaan yang menurutnya sangat mendasar itu.
Bagi sang istri, mencinta tidak harus selalu dengan kata-kata, melainkan lebih terjawab melalui tindakan nyata. Sementara sang suami terus menerus kukuh berpendapat bahwa meski tindakan penting, tapi kata-kata tak kalah pentingnya untuk menyempurnai tindakan.
Sang suami tak ingin mati penasran dengan pertanyaan yang bertahun-tahun mengambang tanpa jawaban kontan, verbal, “singkat dan jelas” dari istrinya. Setiap ia bertanya, istrinya malah menjawab dengan pertanyaan, yang justru membuatnya gegetan dan semakin penasaran. Apalagi, menurut sang suami, pertanyaannya sangat sederhana itu, pun hanya membutuhkan jawaban yang sangat simpel. Opsinya cukup: “ya” atau “tidak ada”.
Bila sang suami kian mendesak untuk diberi jawaban, meski telah dijawab dengan berbagai tanda tentang apa yang telah terus dilakukanya sebagai istri, maka sang istri punya berapa cara jitu mengalihkan desakan suaminya. Misalnya, dengan mengungkit cerita lama sang suami, yang bisa membuatnya tercekat dan terbungkam mengajukan pertanyaan repetitif dan rutin itu. Cara lain yang tak kalah ampuh, yang sering digunakan sang istri sang istri adalah memantik obrolan politik berbau tak sedap.
Sang suami, yang semasa produktifnya memang berprofesi sebagai jurnalis dan dramawan yang kritis terhadap ketimpangan sosial-politik lewat pertunjukan dramanya –bahkan tak jarang dipersulit oleh penguasa untuk berpertunjukan–, memang masih gandrung dan terus mengikuti fenomena sosial politik hingga di masa tuanya.
Saat membincangkan isu-isu sosial-politik, biasanya secara psikomatik sang suami kebelet kencing. Ia akan tergopoh-gopoh ke kamar mandi mencari botol penampung air seninya. Ia memang tengah memilih “terapi (air) seni”, yang menurutnya lebih efektif, murah, dan alami.
Maka dalam sutuasi serupa itu sang istri, –yang pada masanya juga membantu suaminya sebagai pelakon sekaligus kerap membantu mengelola produksi pertunjukan mereka–, sejenak terbebas dari pertanyaan harian suaminya itu.
Demikianlah lakon “Tanda Cinta” bergulir segar tentang perburuan jawaban atas “pertanyaan sederhana” sang suami kepada istrinya. Di sela perburuan jawaban sang suami itu, hilir mudik diisi dengan obrolan suami-istri yang menyoal realitas sosial, ekonomi, dan politik yang menggejala di tengah masyarakat. Layaknya talk-show dan/atau tayangan podcast, mereka mengulik acak wajah kepemimpinan, demokrasi, penegakan hukum dan keadilan, juga ketimpangan ekonomi. Tentu diselingi rasa ingin pipis sang suami.
“Pamflet Cinta”
Karena terus saja penasaran lantaran pertanyaannya yang bertahun-tahun tak dijawab sang istri, maka pertanyaan domestik tadi meluas jadi pertanyan (kepada) publik. Sang suami mencetak dan menyebarkan apa yang ia namai ‘Pamflet Cinta’. Isi pamflet hanya sebuah pertanyaan seperti yang terus menerus ditujukan pada istrinya; ‘Masih Adakah Cinta di Antara Kita?’, dengan pilihan dua jawaban tertutup yang tinggal dicentang oleh para responden; ‘ada’ atau ‘tidak ada’. Pamflet itu disebar ke ruang publik dilengkapi perangko dan alamat kirim yang lengkap.
Selain menurut sang istri adalah hal aneh menanyakan ada tidaknya cinta di antara mereka berdua kepada publik, ia juga telah coba mengingatkan bahwa penguasa sangat sensitif terhdap pamflet, apapun isi pamfletnya. Bisa bawa masalah baru bagi mereka. Tapi sang suami tak peduli. Kaeena yang bisa memuasi dahaga pertanyaan laten-nya adalah jawaban sederhana dan lugas: ada atau tidak (ada).
Hasilnya, sang suami diperkarakan oleh aparat negara hingga ke pengadilan karena dianggap melanggar peraturan dan menimbulkan keonaran di tengah masyarakat. Ia diancam vonis maksimal, lantaran ia tak mau “membeli” vonis ringan dari bujukan tripartit apapat pengadilan: jaksa, pengacara, dan hakim. Ia tak merasa bersalah telah mempertanyakan cinta pada publik lewat pamflet.
Ironisnya, tak satupun jawaban atas ratusan pamlet yang disebar.
Akhirnya, di usia senja mereka berdua, sang suami pun menyadari bahwa jawaban atas pertanyaannya itu tak perlu dicari terlalu jauh hingga ke langit. Jawabannya ada di bumi. Bahkan jawaban itu menyertainya hingga renta, yaitu tindakan-tindakan seorang istri yang terus melayaninya sehari-hari dalam beragam suka maupun duka yang telah berhasil mereka taklukkan.
Sepasang senja renta itu tertatih menggapai pembaringan dan rebah berdampingan dipeluk malam dengan pertanyaan yang telah terjawab di ufuk usia.
Jejak “Tanda Cinta” di Ruang Publik
Hingga tahun 2024, dari lebih 220-an produksi Teater Koma sejak berdiri pada tahun 1977, lakon “Tanda Cinta” sebenarnya dipentaskan pertama kali oleh Teater Koma pasa tahun 2005 di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) dan pada tahun 2009 di gedung pertunjukan Salihara. Pada kedua produksi tersebut Ratna Riantiarno berperan sebagai istri dan mendiang Nano Riantiarno –pendiri Teater Koma—berperan sebagai suami.
Nano Riantiarno, yang menulis naskah dan menyutradarai pertunjukan pada kedua produksi itu, sekaligus menjadikannya sebagai kado ulangtahun pernikahan mereka (Nano dan Ratna) yang ke 27 pada tahun 2005 dan sebagai kado ulangtahun Ratna ke-60 pada tahun 2009.
Pada masa Pandemi Covid-19, rekaman pertunjukan “Tanda Cinta” Teater Koma di GKJ sempat pula disimak publik melalui program “Nonton Teater dari Rumah Saja” yang ditayangkan melalui kanal You Tube Galeri Indonesia Kaya.
Lakon “Tanda Cinta” kembali dipersembahkan oleh Teater Koma pada 2024 di gedung pertunjukan Komunitas Salihara Jakarta. Lakon yang menampilkan aktor muda Lutfi Ardiansyah (pemeran Suami) dan Tuti Hariati (pemeran istri) didukung 9 aktor lainnya, disutradarai oleh Rangga Riantarno (putra Nano Riantiarno). Selain merupakan pertunjukan pamungkas ajang Salihara International Performing Festival (SIP Fest) 2024 yang diselenggarakan sebulan penuh selama bulan Agustus 2024 dengan partisipan seniman-budayawan dari Australia, Jerman, Korea Selatan, Malaysia, dan Indonesia, pertunjukan kali ini juga disemat sebagai pertunjukan persembahan (tribute) mengenang seorang budayawan terkemuka Indonesia Nobertus Riantiarno –yang lebih populer dengan nama Nano Rintiarno–, yang berpulang 20 Januari 2023.
Aktor Lutfi Ardiansyah dan Tuti Hariati terbilang berhasil melakoni peran mereka. Cukup piawai dan memukau penonton dalam mengolah potensi keaktoran mereka menaklukkan dinamika metamorfosa sepasang suami-istri sejak kisaran paruh baya hingga usia senja.
Rangga Riantiarno tak banyak mengubah pengadeganan yang telah dipatri mendiang ayahnya dalam dua pertunjukan lakon tersebut sebelumnya. Ia juga tetap konsisten memanfaatkan skenografi yang dikembangkan mendiang Dr. Achmad Syaeful Anwar, S.Sn., M.Hum. (lebih populer dengan nama keaktoran Syaeful Anwar, akademisi Institut Kesenian Jakata dan dramawan senior yang terus berkarya bersama Teater Koma hingga berpulang pada 3 Mei 2021).
Dramawan Subarkah Hadisarjana juga tetap memberi sentuhan penataan rambut dan rias untuk mendukung keaktoran Lutfi dan Tuti, sebagaimana ia turut menangani Nano dan Ratna pada tahun 2005 dan 2009.
Menggugat Tanda Cinta di Ruang Publik
Sebagaimana dikenal publik penggemar teater di Indonesia, Teater Koma senantiasa piawai mengemas tontonan mereka, seringkali dengan konsep pertunjukan karikatural dan satirik Juga sering menampilkan teater bernunsa opera pada bebeapa produksi mereka sebagai kemasan pesan kritik sosial merespon apa yang mendenyut di tengah masyarakat.
Kontekstualisasi atau upaya merefleksikan realitas sosial tersebut yang dibingkai dalam alur kisah pertunjukan mereka, telah menjadi semacam “trade mark” khas Teater Koma dibanding kelompok teater lainnya, yang membuat mereka selalu diminati dan dinanti para penggemar teater.
Meski telah dipentaskan setidaknya 3 kali oleh Teater Koma, –belum termasuk berbagai kelompok teater lain di Indonesia yang juga pernah mengusung lakon tersebut–, sejatinya “Tanda Cinta” yang sekilas hanya menyodorkan pertanyaan “sederhana” dan melodramis yang terdengar klise, namun memiliki makna yang sangat subtantif dan bermakna sangat mendalam. Menjadi kian penting dari hari ke hari di dalam kehidupan kita.
Selarik pertanyaan “Masih adakah cinta di antara kita?” yang mungkin semula bisa ditafsir bersifat personal dan antar-personal semata. Tapi implikasi pertanyaan itu bisa meluas jadi pertanyaan penting yang memburu jawaban dan pemaknaan di tengah kehidupan sosial atau komunal. Setidaknya itu dapat kita tafsir dari kengototan tokoh suami yang tampak naif menyebar “Pamflet Cinta”-nya di tengah publik. Publik bisa jadi tak paham menjawab “pertanyaan sederhana” itu. Sebab mereka pun sedang sibuk berburu jawaban atas pertanyaan yang persis sama kepada pihak lain. Atau alih-alih tentang masih ada atau tiadanya, bahkan mungkin terengah-engah memahami hakikat cinta.
Pada padang perburuan yang lebih luas lagi, pertanyaan itu dapat digedorkan pada pintu-pintu-pintu kekuasaan. Masihkah kekusaaan politik dan ekonomi membuat mereka buta pada cinta? Apa tandanya? Tiindakan etikal sederhana yang memyempurnai kesetiaan pada rumitnya pencapaian cita-cita konstitusi.
Masih adakah cinta di antara kita? Sebuah pertanyaan repetitif dalam lakon “Tanda Cinta” yang seolah diwariskan Nano Riantiarno sebagai semacam “legacy” bagi kita semua, untuk terus berburu jawaban atas itu.
Setidaknya perburuan jawaban pada kedalaman nurani kita sendiri pada sepotong malam yang berhenti, di tengah waktu yang terus berlari. Sebab bila tak ada lagi cinta di antara kita maka kegelapan akan bertahta. Ketika hakikat cinta –serumit atau sesederhana apapun– tak dapat dihadirkan dan dimaknai, itulah masa-masa alienasi yang terus membayangi generasi.
*