Epigram Palestina
Reruntuhan itu, Tuhan
tak melenyapkan semangat hidup kami
Reruntuhan itu, Tuhan
tak mematikan arah perjalanan kami
Reruntuhan itu, Tuhan
tak melayukan bunga-bunga yang kami tanam
***
Maka di suatu pagi
matahari menyelinap di tubuh kami
Tiga orang anak berayun-ayun
di atas kabel-kabel yang usang
Dan lainnya sedang bermain petak umpet
di tengah alat berat yang luluh lantak
Dunia
di mana kini wajahmu?
Lihatlah Palestina, Gaza, Rafah
menanti cahaya-cahaya perdamaian
atas nama kemanusiaan
Musim Kering yang Panjang
Jika saja,
suatu saat
negeri-negeri dalam diriku
juga negeri-negeri dalam dirimu, sayang
sama-sama dilanda musim kering yang panjang
Hendaklah kita bermigrasi
mencari bahtera hidup
yang menyajikan ruang-ruang pengharapan
bagi pertumbuhan cinta kita
Di sana, hutan kesunyian
menemukan takdirnya
dan tangan kita tak lelah-lelahnya
merangkul ceruk mata air permulaan
Tulislah Tentang Dunia Ini
Kemarilah, kekasih
tulislah sepatah kalimat tentang dunia yang kau tahu
tulislah sebagaimana kau memimpikan masa depan itu
biarkan selembar puisi kecil di dalam tubuhmu mendengarnya
Namun yang pasti,
Ketika kau menyuruhku menulis secarik kalimat
tentang dunia ini
aku hanya mengingat
bagaimana keindahan Tuhan senantiasa terpancar
dari kalam-kalam kesederhanaanmu yang rindang
Pada Sebuah Sore yang Hujan,
Aku Bertanya Tentang Cinta
Pada sebuah sore yang hujan
aku bertanya
apa itu cinta?
Ialah hujan
yang memeluk bangunan tua
Ialah hujan
yang mendekap besi-besi tua
Di antara rimbunan lumut
dan tubuh karat
Di Persimpangan Magrib
Di persimpangan magrib
senja segera pulang
membawakan paket obat
untuk kekasihnya yang sakit
Ketika senja tiba,
ia mengetuk hatinya dengan hangat
mencium keningnya dengan khidmat
“kekasihku,
biarpun di luar, hidup sedang liar dan sekarat
tetapi keadaanmu jauh lebih berat kutanggalkan,” ucap senja.
Lalu rumahnya yang sederhana itu
menjadi saksi sejarah
bagi sepasang cinta:
cinta yang tak biasa dan tak pernah berakhir