PAGI itu, para pedagang yang biasa ada di trotoar sisi luar stasiun mendadak panik. Penjual asongan, siomay, buah, nasi uduk, dan mie ayam kocar kacir menyelamatkan gerobak dan dagangan agar tidak diangkut satpol PP. Tapi, Muslih bergeming. Dia tetap di tempatnya. Alhasil, kotak peralatan yang jadi tumpuan hidup diri dan keluarganya diangkut petugas, bahkan termasuk sebuah bangku duduk kecilnya.
Hujan turun. Kini Muslih seorang diri di trotoar itu sambil terus memegang payung berlogo sebuah partai pemberian orang. Sembari menenteng plastik berisi sepatu yang akan diambil oleh pelanggannya. Muslih tahu betul nilai bahan kulit yang digunakan untuk upper sepatu itu. Kulit yang bagus dan kuat. Tapi jika basah, maka warnanya akan cepat berubah. Karena itu dia harus betul-betul melindungi sepatu tersebut dari air hujan. Sang pemilik berjanji akan mengambilnya pagi ini. Karena itu, Muslih tidak mau pergi kemana-mana sampai sepatu tersebut dijemput.
Ini bukan kali pertama Muslih membiarkan kotak peralatannya disita petugas. Kejadian yang sama terjadi beberapa bulan lalu. Dengan alasan yang sama pula. Dia harus menunggu seorang pelanggan yang akan mengambil sepatu yang telah dijahitnya. Saat itu istrinya sangat marah. Menurut sang istri, Muslih sangat bodoh. Dia dapat bayaran 30 ribu dari pelanggannya, dan itu tidak sepadan dengan kotak dan peralatannya yang diambil petugas.
“Apa yang kau pikirkan? Kenapa tidak kabur?”
“Bagaimana kalau saat kabur, pemilik sepatu datang mengambil? Tanpa sepatu, pemiliknya mungkin tidak bisa bekerja,” dalih Muslih saat itu.
Kali ini keputusannya yang sama terulang. Muslih bisa membayangkan Istrinya pasti akan murka lagi.
Gelegar petir membuyarkan lamunan Muslih. Dia melihat sekeliling. Muslih nyaris lupa bahwa kini hanya dia seorang yang tersisa di sana. Hujan kian lebat. Sebelumnya, Muslih masih bisa mendengar suara percakapan pemilik toko dan pembeli di seberang jalan. Kini rongga telinganya hanya dipenuhi suara benturan antara air hujan dengan aspal jalanan. Sesekali suara guntur. Sebenarnya, ada suara lain yang nyaris dari tadi bisa dia rasakan. Itu adalah suara genderang perutnya. Dia lupa kapan perut tersebut dia isi. Tapi Muslih tidak punya waktu untuk memikirkan dirinya sendiri. Merasa lapar adalah sebuah kemewahan bagi Muslih saat ini.
Sejak tadi pikirannya masih tertinggal di rumah. Ia teringat peristiwa dini hari tadi. Pukul satu, di tengah bunyi gemericik air yang menimpa genteng-genteng rumah, samar-samar dia mendengar Wulan menangis sesenggukan di dalam. Muslih yang berada di teras segera masuk dan mendapati anaknya yang berusia tujuh tahun itu merintih memegangi perut. Terlihat anak itu sekuat tenaga menahan diri agar tangisnya tidak pecah. Stok beras yang dipinjamnya dari tetangga sudah habis. Tidak ada makanan sama sekali di rumahnya. Muslih tak mampu berbuat apa-apa. Dan gerimis di luar tak mampu membasuh perihnya hati Muslih.
Anak keduanya itu baru bisa memejamkan mata setelah adzan subuh. Tunai sembahyang subuh, dia mengetuk pintu toko Pok Ijah. Setelahnya, Muslih pergi ke rumah tetangga yang lain. Pagi ini Muslih telah meninggalkan dua bungkus mie goreng instan di meja rumahnya. Sebungkus nasi uduk, meski tanpa lauk, dengan mie goreng, rasanya cukup sebagai pelipur lara istri dan kedua anaknya setelah dua hari mereka hanya makan nasi putih. Dan Wulan pun tak perlu lagi menahan lapar.
Kini dia hanya punya selembar sepuluh ribu di saku. Muslih harus berpikir untuk makan keluarganya nanti malam. Bayaran yang akan dia terima untuk perbaikan sepatu kulit ini akan dia gunakan untuk mengganti sembako dan nasi tetangganya yang dia pinjam. Meski kini Muslih sangsi apakah pemilik sepatu tetap akan datang di tengah hujan seperti ini.
Istrinya pun meminta agar Muslih mampir ke rumah Jaka sepulanya sore nanti. Jaka adalah seorang kuli pasar yang meminjam uang beberapa waktu lalu. Uang yang dipinjam itu lumayan untuk menyambung nafas Muslih dan keluarganya beberapa hari ke depan. Meski demikian, Muslih ragu. Jaka tak lebih baik dari dirinya. Kuli panggul itu punya lebih banyak anak yang harus ditanggung. Ditambah ibu mertua yang lumpuh yang tinggal seatap dengannya.
Hujan memang menjadi berkah bagi bumi. Tapi harus diakui hujan kerap membuat pendapatan Muslih berkurang. Apa yang dikhawatirkan Muslih terjadi. Pelangganya belum juga tiba. Dan hujan tak kunjung reda sampai tengah hari. Hingga sore, tidak ada satu pelanggan pun datang. Muslih mengemas semua barangnya dan pulang dengan sangat lunglai. Satu-satunya harapan memang menagih uang ke Jaka.
Rumah Jaka ada di ujung sebuah gang, meskipun lorong itu terlalu kecil untuk disebut gang. Muslih hendak masuk ke gang tersebut ketika sebuah teriakan mengalihkan perhatiannya.
“Anak nakal! Kau harus diberi pelajaran.”
Terlihat di kejauhan seorang wanita sedang menyeret dan memukul seorang anak yang bertelanjang dada. Anak itu meronta-ronta memohon ampun. Muslih mendekati mereka, setengah berlari. Dia mengenali anak itu. Salah satu anak Jaka.
“Ada apa ini, Bu?” Muslim mencoba menahan agar wanita itu berhenti memukuli sang anak.
“Anak nakal ini mencuri apel jualanku. Ia harus diberi pelajaran.”
Si wanita terus mencoba menarik dan memukul.
“Sudah, Bu. Sudah. Ini mudah-mudahan bisa mengganti apa yang dia ambil,” Muslih secara spontan merogoh kantong celananya dan menyerahkan uang terakhir yang dipegangnya. Sang wanita menerima uang dari Muslih dan pergi sembari mengumpat pada anak Jaka.
Muslih lalu menggandeng anak Jaka dan mengantarnya pulang. Sekaligus ingin menemui ayah anak tersebut. Si anak masih memegang apel yang diambilnya saat berjalan menyusuri gang. Selama berjalan, dia terus menunduk sambil melirik apel di tangan kirinya. Muslih menyadari itu.
“Makan saja apelnya.”
Anak itu menatap Muslih seolah meminta kepastian. Tak lama, ia menarik tangan kanannya dari genggaman Muslih dan melahap apel merah itu dengan kedua tangannya.
Sampai depan rumah Jaka, Muslih berhenti. Dia menatap pintu kontrakan petak kecil itu. Selama beberapa saat dia diam. Lalu dia perhatikan anak Jaka yang mengunyah apel begitu nikmatnya. Apel yang pasti sangat manis. Muslih pun urung mengetuk pintu rumah Jaka. Dia berbalik, lalu pulang.
Begitu sampai rumah, istri Muslih heran karena suaminya itu meminjam beras lagi ke Pok Ijah. Dan lebih kaget karena dia pulang tanpa kotak peralatannya. Muslih pun menceritakan semua yang dilaluinya hari itu.
Malam itu, anak-anaknya sudah tidur dengan perut terisi. Keduanya tidur di dalam kamar. Setelah mematikan semua lampu ruangan, Muslih bergabung dengan Istrinya di ruang samping dan merebahkan badan. Ruangan Mushlih dan istrinya itu jadi satu dengan dapur. Lebih tepatnya, sudut ruangan yang dia jadikan dapur.
“Tidak enak kita ngutang terus ke Pok Ijah” ujar istrinya memecah hening.
“Segera akan kita bayar, Bu. Mudah-mudahan besok ada rezeki. Aku masih menyimpan jarum, gunting dan benang sol untuk menjahit.”
“Pak. Kita selalu berbuat baik ke orang lain. Tapi kenapa untuk makan saja kita susah ya.”
“Jangan mikir begitu, Bu. Sudah, cepat tidur.”
Istrinya pun segera menuruti suaminya. Rumah itu kian sunyi. Muslih, seperti biasa, tidak segera tidur. Begitu seluruh anggota keluarganya lelap, dia mengambil sebuah buku di atas rak yang menempel dinding. Satu-satunya buku di rumah itu.
Muslih keluar ke teras, tempat yang ada cahaya untuk bisa membaca. Cahaya itu berasal dari lampu jalan tepat di depan kontrakannya. Muslih duduk di teras dan membuka buku yang dipegangnya. Sebuah Al Quran. Muslih membuka halaman yang sudah ditandainya, lalu membaca terjemahan surat yang selalu dibacanya setiap malam.
“Sesungguhnya setelah kesulitan akan ada kemudahan”
“Sesungguhnya setelah kesulitan akan ada kemudahan”
Malam itu hatinya lebih jauh tenang. Muslih bersyukur, hingga fajar tiba, dia tidak mendengar suara senggukan tangis atau rintihan anaknya dari dalam rumah.