Dua Pintu


KISAH ini hanyalah sebuah dongeng. Sangat mungkin sekali kalian pernah mendengar seseorang menceritakannya, atau bisa jadi malah pernah membacanya. Tapi apa pun kemungkinannya, kisah ini sungguh hanya dongeng belaka.

Pada zaman dahulu kala hidup seorang raja yang sangat adil dan tegas dalam memutuskan bermacam perkara. Keadilan dan ketegasan itu dia peroleh dari sebuah mimpi ketika negerinya sedang kacau balau.

Kondisi kacau balau berlangsung pada awal-awal dia memerintah. Kejahatan sosial terjadi di mana-mana, pun begitu juga dengan praktik korupsi yang merajalela. Parahnya lagi, adik iparnya diduga pula melakukan penyelewengan wewenang selaku hakim agung.

Sebagai raja, dia tentu saja amat sedih melihat kenyataan tersebut. Sepanjang hari (satu tahun sejak dinobatkan) dia mengurung diri di dalam kamar. Berbagai buku tentang cara menghadapi situasi tidak normal dalam sebuah negeri, sudah dia baca demi upayanya mencari jalan keluar. Namun jalan itu tak kunjung dia temukan.

Di saat yang bersamaan, kondisi negerinya semakin hari bertambah parah. Kejahatan sosial dan korupsi sudah pula menulari orang-orang yang seharusnya meluruskan. Kalangan cerdik pandai dan tokoh agama yang selayaknya berperan menyelamatkan negeri, sudah pula ikut cawe-cawe membiarkan.

Seorang menteri kepercayaannya telah memberi tahu. Akan tetapi dia tetap mengurung diri, tak juga keluar dari kamar. Lingkaran dalam istana mulai khawatir. Santer terdengar kabar seorang pemimpin agama tengah bersiap melakukan kudeta. Tapi syukur kudeta itu tidak sempat terlaksana.

Sehari setelah genap satu tahun mengurung diri, dia bermimpi. Dalam mimpi itu, seorang lelaki dengan jubah koyak dan memegang tongkat berkata kepadanya, ”Tegakkan keadilan, maka kesejahteraan akan ikut serta!”

Dia terbangun, peluh merimbun di dahinya. Lama dia merenungkan maksud mimpi itu. Sampai akhirnya dia memutuskan keluar dari kamar dan duduk di atas singgasananya. Saat itulah, dia menemukan jalan keluar.

Keesokan hari, dia mengumpulkan semua petinggi-petinggi kerajaan, termasuk adik iparnya yang diduga berkhianat. Ketika semua telah berkumpul dia pun berkata, ”Mulai hari ini, aku akan membuat sebuah pengadilan yang adil bagi siapapun; tak terkecuali buat diriku dan keluargaku sendiri.”

Sambil turun dari singgasananya, dia melanjutkan titahnya, ”Tolong siapkan sebuah arena yang megah dan luas, yang dapat menampung sebagian besar rakyat kita. Dalam arena itu buatkan juga dua buah pintu kembar. Satu pintu akan diisi ular yang paling beracun, dan pintu satu lagi berisi seorang gadis cantik yang wajib dinikahi bagi terdakwa yang berstatus lajang. Bagi yang sudah berkeluarga akan mendapatkan emas dan perak. Bagi yang membuka pintu berisi ular, maka ia dinyatakan bersalah dan langsung dihukum mati oleh ular itu sendiri. Sedangkan yang sebaliknya dinyatakan tidak bersalah. Siapapun yang diadili bebas sesuka hati memilih pintu tanpa paksaan dan tekanan dari pihak mana pun. Umumkan segera kepada seluruh rakyat negeri. Atas keputusan ini, aku telah menetapkan bahwa orang pertama yang harus diadili adalah diriku sendiri.”

Dalam hitungan bulan sebuah arena raksasa dengan dua buah pintu kembar telah selesai dibangun. Disaksikan seluruh keluarga kerajaan, pejabat tinggi kerajaan, dan juga rakyat, dia memasuki arena untuk diadili.

Sebelum melangkahkan kaki ke salah satu pintu, dia kembali bersabda, ”Dengarkan wahai rakyatku! Setahun belakangan aku telah membiarkan kalian dalam kurungan masalah. Sungguh aku tidak membiarkan hal itu. Setiap hari aku memikirkan bagaimana cara keluar dari masalah. Namun, aku dapat memahami jika kalian menganggapku telah lalai. Agar keadilan tegak lurus, aku akan menjadi orang pertama yang diadili dalam arena ini. Jika aku bersalah, maka kematian pantas untukku.”

Dia memanggil pengawal dan meminta mencarikan seorang rakyat yang sangat marah kepadanya.

”Wahai rakyatku, orang tua yang berdiri di sebelah kedua pintu itu ialah seorang ayah yang anaknya mati diperkosa salah seorang pejabat lingkaran terdekatku. Namun karena rakyat biasa, ia tidak mendapatkan keadilan. Hari ini aku memintanya menentukan di pintu mana ular berbisa itu diletakkan. Supaya saat memilih salah satu pintu, aku benar-benar tidak tahu. Jika menurut langit aku bersalah, pasti aku akan masuk ke pintu yang berisi ular beracun. Apabila ternyata usahaku mencari jalan keluar senyata bukan kesalahan, tentu langit akan menuntunku ke pintu satu lagi.”

Istri dan anaknya tampak ketakutan. Sebagian rakyat juga menunjukkan wajah cemas. Sementara sebagian yang lain (yang menganggap dia lalai) tampak senang seraya berdoa semoga sang raja dipatuk ular berbisa.

Tenang dia berjalan menuju salah satu pintu. Beberapa langkah jelang sampai dia berhenti, kemudian menengok ke arah keluarga dan rakyatnya. Puas melihat, dia pun memilih pintu sebelah kiri.

Sekeping uang perak telah tersedia di balik pintu. Dia pun berlega hati. Begitu juga keluarga dan rakyatnya: baik yang percaya atau tidak pada alasannya mengurung diri. Akan tetapi, agar pengadilan itu benar-benar adil, dia pun memerintahkan pengawalnya untuk membuka pintu satu lagi. Ketika pintu terbuka, terang terlihat seekor ular kobra berdiri tegak.

Rakyat pun senang. Satu-satu mereka mulai beranjak pergi meninggalkan arena. Namun tiba-tiba dia memerintahkan pengawalnya membawa adik iparnya ke dalam arena. Rakyat yang semula ingin pulang akhirnya kembali ke posisi mereka sebelumnya.

”Karena selama ini adik iparku dinilai telah gagal menegakkan keadilan, maka ia harus menjadi orang pertama yang diadili setelah aku. Selanjutnya, semua yang dinilai bersalah akan diadili di arena ini juga. Mulai sekarang pengadilan arena resmi aku jadikan tempat bagi siapa saja yang ingin mencari keadilan di negeri ini.”

Seperti yang sudah diduga, adik ipar sang raja akhirnya mati dipatuk ular berbisa. Seluruh rakyat yang menonton bahkan beberapa pejabat kerajaan terlihat gembira. Sejak itu semua perkara yang muncul dalam negeri diselesaikan di pengadilan arena.

Lambat laun, semua orang-orang jahat menemui ajalnya. Tidak pernah sekalipun yang memilih pintu berisi ular, lolos dari kematian. Sehingga semua rakyat percaya bahwa setiap yang mati adalah orang yang bersalah.

Kini negeri itu menjadi negeri gemah ripah loh jinawi. Rakyat pelan-pelan berangsur hidup dalam kesejahteraan. Sungguh benar kata lelaki dalam mimpi: keadilan akan membawa kesejahteraan.

 Setelah lima belas tahun sistem pengadilan itu berlaku, muncul sebuah persoalan besar. Apalagi kalau bukan persoalan yang melibatkan keluarga raja.

Anak semata wayang sang raja jatuh cinta pada seorang prajurit kerajaan yang tampan dan gagah perkasa. Raja tentu tidak ingin putrinya menikah dengan seorang prajurit rendahan. Dia meminta prajurit tersebut dibawa ke pengadilan arena sebagai upaya menentukan hubungan asmara seperti itu terlarang atau tidak. Tapi dibalik itu, raja sudah berpikir; apapun yang nanti terjadi, prajurit itu tetap saja tidak akan menikah dengan putri kesayangannya.

Hari yang dinantikan tiba. Sebelum pengadilan arena dilangsungkan, raja telah memerintahkan pengawalnya untuk mencarikan sepuluh ular paling berbisa, selain wanita paling cantik di negeri itu sebagai hadiah jika si prajurit ternyata dinilai langit tidak bersalah mencintai anaknya.

Semua proses telah siap. Dia memberikan aba-aba agar si prajurit memasuki pengadilan arena. Setelah masuk ke dalam arena, prajurit itu memberi hormat pada sang raja. Ia sebenarnya tidak benar-benar sedang memberi hormat, melainkan melihat sang putri untuk terakhir kali. Mungkin ia sadar apapun pilihannya, ia tetap akan berpisah dengan sang putri. 

Putri raja sesungguhnya tahu pintu mana yang berisi ular dan wanita cantik. Sedari kecil ia selalu menemani ayahnya menghadiri acara pengadilan arena. Pengetahuan itu ia peroleh karena kecerdasannya membaca pola yang konsisten dari sang ayah dalam menentukan pintu mana yang berisi ular. Pola itu cukup rumit seandainya yang mengetahui tidak kuat menghafal. Begini polanya: 2 kali kanan, 1 kali  kiri, 1 kali kanan, 8 kali kiri, 1 kali kanan, 1 kali kiri, 2 kali kanan, 1 kali kiri, 6 kali kanan, baru kembali ke 2 kali kanan, dan seterusnya.

Sang raja memang sengaja membuat pola serumit itu agar tak terbaca oleh rakyat dan keluarganya. Lagi pula setiap pengadilan arena berlangsung, rakyat dan keluarga kerajaan tidak melulu hadir, kecuali putri kesayangannya.

Kegundahan terbit dalam hati sang putri. Bukan! Ia bukan mendadak lupa pola yang dibuat oleh ayahnya, melainkan perkara pintu yang mana akan ia beritahu kepada kekasihnya. Memberi tahu posisi ular, tentu saja membuat kekasihnya masuk ke pintu wanita cantik. Bayangkan betapa hancur hatinya menyaksikan sang kekasih memilih wanita lain. Namun memberitahu hal sebaliknya, tentu akan membuat ia merana sepanjang hidup ditinggal mati sang kekasih. Air matanya tumpah, tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi. Dua pintu kembar itu kini baginya adalah racun; pilihan apapun akan melahirkan derita.

Tetapi perintah raja sudah bergema, pengadilan harus dimulai. Maka sebuah kode harus segera disampaikan. Sang putri belum juga bisa memilih pintu mana yang ingin ia beritahu kepada si prajurit. Ia sebenar gamang, galau yang tiada terbahasakan. Pilihan macam apa ini, tidak adakah pilihan untuk bersatu? Kenapa mesti berpisah jika cinta sebenar telah bertaut?

Sementara itu, si prajurit berbadan kokoh yang telah meraih berbagai kemenangan perang demi perang itu, pun untuk pertama kalinya merasakan kebimbangan pula. Langkahnya terhenti, alis matanya mengkerut. Dari atas podium sorot mata raja tampak menatapnya tajam, namun kesudahannya ia pun melangkah kembali menuju pintu sebelah kanan. Tubuhnya berkeringat, dan sungguh debar jantungnya pun seolah terdengar oleh raja di singasana, putri, dan seluruh penonton. Akan tetapi ia sungguh telah siap mati karena bisa.

Sang putri kaget bukan kepalang. Pintu sebelah kanan adalah pintu yang hari itu berisi ular. Tubuhnya berkeringat, jantungnya bekerja tidak seperti biasanya. Hampir-hampir ia semaput melihat itu.

Prajurit semakin dekat ke arah pintu sebelah kanan.

Raja yang melihat hal itu santai-santai saja. Bagi raja, dia tetap pemenang dalam pengadilan arena. Sementara itu, sang putri benar-benar merasa seperti ialah yang akan menuju sakratul maut. Sungguh tak kuat menahan pedih sakratul maut, ia melompat ke medan arena.

Tiba di medan arena, buru-buru ia tarik tangan si prajurit ke arah pintu sebelah kiri. Ia berniat menjadi saksi kekasihnya bertaut hidup dengan wanita cantik. Biarlah hidup menderita karena cinta dari pada harus menyaksikan kekasihnya merenggang nyawa.

Di atas podium, raja mendadak tampak panik. Bahkan kebijaksanaan yang selama ini selalu terbit dari wajahnya telah pula menjadi kepucatan yang amat sangat. Dahinya mendadak merimbun keringat. Mungkin juga bukan hanya dahinya, tapi seluruh tubuhnya.

Perihal apakah dia sampai seperti itu? Sungguh tak ada yang tahu. Namun yang jelas, sebelum pengadilan arena dimulai, dia memang sempat memberi sebuah perintah. Dan perintah itu macamnya berbeda dari sebelum-sebelumnya.

Akasia 11CT, Akhir Zaman

Bagikan:

Penulis →

Ilham Wahyudi

Lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia salah seorang Fuqara di Amirat Sumatera Timur. Selain menjadi seorang Fundraiser di Adhigana Fundraising, ia juga dikenal sebagai tukang mabuk. Beberapa cerpennya ada yang dimuat dan banyak yang ditolak redaksi. Buku kumpulan cerpennya “Buku Belajar Menulis Cerpen” telah diterbitkan dalam format digital.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *