di hadapan kupu-kupu tanah
Kupu-kupu tanah
dengan sayap yang tak pernah basah
hinggap di mataram
kota beranjak tua yang kusam oleh cinta
tiba dibawa angin gunung
dengan corak sayapnya, ia tuturkan kesedihan, kesedihan kaum urban
yang tumpah seperti aib jadah,
yang tak tertolak ibarat wanita kota yang lolos dari talak
tak ada yang bisa sembunyi seumur kata
basah oleh cinta yang hitam, oleh airmata kekasih yang pandai berdusta soal cinta
ikrar sumpah selalu mendahului basmallah, meletup semudah tulah
di atas tanah, matahari bak pintu segenap perkara makruh dan rapuh
kewaspadaan terhadap sekecil apapun ancaman, menjelma niat jahat yang mengintai sekecil apapun peluang untuk terlibat
di mana jabat tangan dan peluk hangat? di dalam peristiwa-peristiwa yang hilang?
kupu-kupu tanah. kupu-kupu kesayangan
bertutur sampai usai umur
rangkaian masif dan pelik seperti bisik dari mulut licik tetangga
yang hatinya mudah sekali kuyup diguyur cinta yang dikedipkan mata
ini
Tak kusangka
ini lebih ampuh dari keakbaran ajal
membolak-balikkan hatimu
jadi pembimbang di medan tumbal
di matamu
referensi yang berpotensi memperjelas batas tepi
tak lebih sakti dari hari raya yang ada di dalam diri
hari raya kau-mereka
hari raya penghibur bagi siapa saja yang lebih dulu tiba
perkara masif
tiba sebagai pembawa kabar baik
tempat kaummu dikasihi
tak ditunjuki garis pagar
yang dikirim jauh sebelum sejumlah hal melemah
dan tanggal ke tanah basah
ini kau kultuskan
kau imani sebagai juru selamat
juru nubuat dan penunjuk alamat terjauh
yang tak bisa dijangkau sembarang tubuh
tak kuberi maaf artummi
Sungguh tak kuberi maaf artummi
sampai patah ke tanah
jadi nisan kesepian
batang usia ini
tak ada maaf bagi siapa saja yang berani kalah
di luar pagar pekarangan
di jauh: tempat terdekat dengan musuh; musuh sungguh,
musuh dalam selimut, musuh dari tempat-tempat jauh
tak ada ampun
sebab ampunan hanya jadi penjinak, hanya jadi pelunak
waktu adalah medan perayaan segala peristiwa
lebih hitam dari kurusetra
apa saja terjadi
berlangsung sebagai jawaban atas setiap pertanyaan yang muncul kemudian
setelah tiga belas tahun kemudian
berubah apa-apa yang di luar dan di dalam ingin
berbenah apa-apa yang di luar dan di dalam kepala
itu sebab di hadapanku, kau tumpah segala resah,
resah akan ancaman kalah; kekakalahan yang terjadi dengan cara paling sakral
di hadapan nama-nama
seperti igauan, kau terus saja berkata-kata
sampai hitam
sampai berlubang
sungguh tak kuberi maaf artummi
sampai patah ke tanah
jadi nisan kesepian
batang usia yang kau miliki
sebelum ini
Tak tersentuh olehku
sebelum ini
jemari halus yang bertanggung jawab atas keberadaan labirin di titik tibaku
sejak awal
hanya sebuah pintu berwarna manusia
disanding rahasia
yang kusangka pintu bilikmu
sepertinya kaki ini telah salah merespon jarak
sementara waktu tak pernah bergurau
walau hanya sekedipan saja
ia giring keadaan
ke hadapanku
ia giring aku
supaya terlibat di dalam keadaan}
berulang sampai tumbuh benih lupa
benih dusta tertanam pelan dalam lubang
lubang diri yang menolak diam dan jadi hitam
sebelum ini
sungguh aku tak paham makna tiba
di hadapan tubuh teduh yang paling kau cinta
hanya singgah
tak usah kau buka pintu diri paling dalam
di tanah ini
tanah kekasihmu
aku hanya singgah
berlindung dari sepucuk bujuk
cinta yang hitam oleh mantra
di diriku
tak akan kau dapati setebas angan serupa mata pedang
yang bisa mendatangimu mendahului ajal
di diriku
tak ada tumbuh apa yang kau khawatirkan sebagai muslihat kekinian
yang berbiak dalam diri sejumlah nama yang kau kenal kemudian
aku hanya singgah
untuk menyelesaikan sebuah perkara yang telah membentang sejak awal
jauh sebelum kau dibenci pelan-pelan
labirin
kugerakkan seluruh kemungkinan
dari tepi ini
ke luar sepi
sebab aku tak bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan nama-nama
terik kata dan buta cinta
jadi titik singgung
tanda bagi apa yang tak terbaca sebelum ini: kemudian yang jauh
nama-nama ini, tak akan pernah mencoba untuk paham
walau kau ceritakan kisah yang tak sekadar soal kasih
labirin dari orang yang kau cinta
tak menyimpan apa-apa
selain aku yang tak pernah menyangka diri akan tiba