Paramaribo


KAPAL Prins Willem II bertolak dari Tandjong Priok, berlabuh barang sebentar di Semarang dan Batavia sebelum kemudian mengecup pipi cakrawala selat Sunda yang bonyok ungu kemerahan. Lembayung di angkasa yang semakin padam membiru petang itu sama nyanyarnya dengan bibir Soeratno yang kena bogem Tuan Hooven, sinder[1] Pabrik Goela Krebet.

Istri Soeratno, Roes, yang sekarang kena guna-guna dan tanpa sadar ikut terimpit bersama ribuan jongos yang melesak dalam lambung Kapal Prins Willem II, saat itu bunting, keguguran melihat suaminya mampus dipukuli para tuan yang bagi lidahnya sendiri sulit menyebut namanya, “Hoopen?

Soeratno tewas. Roes mengentaskannya dari parit, menarik kepala lelaki itu, seperti dukun kampung yang membubut jabang bayi dari rahim seorang ibu. Parit begitu liat, keong merayapi punggung dan leher Soeratno, ikan gabus berkecipak, dan satu-dua lintah tengah menyesap di perut dan dada kekasihnya yang telanjang dan binasa.

Jongos perkebunan mana bisa punya warisan, mereka sering mati tiba-tiba, wasiat juga tak mungkin ada. Di Krebet, udara Malang yang segar terpupus debu gilingan tebu. Yakinlah, siapapun yang jadi babu di tempat itu, bisakah mereka lebih panjang umur dari ulat grayak? Tapi jongos macam Soeratno, juga jongos-jongos lainnya sudah begitu akrab dengan kematian. Sehingga, pada suatu sore yang tentram, aman, meski tak sejahtera, ia melantur;

“Roes, mau di sini atau di sana, kita semua toh bakal mati dengan cara yang sama.”

***

Dalam pengaruh guna-guna, kehidupan menjelma mimpi dan Roes dilalap rakus olehnya. Tentang sore hari, tentang Soeratno mengatakan hal yang sama seperti radio rusak dan cepat bagai laju kereta api. Juga dalam pengaruh guna-guna, terapung dalam lambung Prins Willem II, tubuhnya seperti selembar daun yang terguncang di permukaan bengawan, mengikuti arus dan laju angin malam kencang. Setelah lima hari, ia sadar, itu berarti ia punya waktu sembilan puluh lima hari untuk histeria sebelum akhirnya tiba di Paramaribo, Suriname.

Roes yang baru saja sadar dari tidur panjang melampaui tiga matahari terbit dan terbenam, tentu saja tak seelok cara perempuan dari negeri dongeng siuman dicium pangeran. Roes menjerit, menjerit lagi hingga jeritannya tak terdengar telingannya sendiri. Dua lubang telinganya pampat akan segara kekacauan dan bebunyian.

Badannya terimpit, terayun-ayun, tergencet manusia-manusia busuk dan kasihan, sama seperti dirinya. Ia berhenti melolong, karena…siapa juga yang bisa menolongnya saat ini?

Mengerang, menyalak, misuh-misuh, lagu-lagu penenang, dan doa-doa dipanjatkan, segala macam suara dan bunyi melatari tempat sesak dan pengap itu. Di atas papan penyanggah, suara lonceng timbul dan musnah bersamaan dengan bunyi karung dibanting, juga gedebuk entah apa.

Jangankan duduk apalagi selonjoran, merentangkan tangan ia tak mampu. Roes hanya bisa bergerak dengan lehernya; mendongak, menoleh, menunduk. Napasnya memendek, bibir dan hidungnya bekap. Seseorang entah siapa membebani punggungnya, berat sekali, seperti memberi lembu pingsan sandaran punggung. Roes meronta-ronta―bajingan tak tahu diri―padahal yang disanggahnya itu sudah tewas terimpit delapan jam yang lalu.

“Baru sadar ya? Bagus itu, bagus!” seorang jompo kerempeng, bergigi ompong, berkepala botak, mengobral senyum. Badannya terimpit manusia sebangsanya, semakin ganas gelombang, semakin tertekan badan, semakin ramai erangan-erangan. Lelaki jompo ini malah nyengir. Nyengir bahagia, layaknya sinyo cilik yang naik wahana permainan di pasar malam.

Melihat lelaki tua cengar-cengir begitu, nestapa Roes melipat ganda. Saat ini, ia malah mengira sedang diapit di ketiak malaikat pencabut nyawa bersama pezina lainnya untuk diantar ke padang mahsyar diadili berjamaah. Lelaki itu pasti sudah mati rasa, lelaki itu pastilah sudah gila. Orang gila tak pernah tahu rasa sakit, dilempar bata kena kepala, ia pasti juga cengar-cengir sambil lari terbirit-birit.

“Mengapa kau melata begitu, kita semua, yang terdesak di sini akan menyongsong masa depan cerah. Kau mesti bersyukur, kita ini orang terpilih. Di Negara Jawa, mana ada orang berani bermimpi?”

“Ya, pastinya tidak ada yang punya mimpi, wong[2] sudah mati!”

“Siapa, siapa yang mati Nduk[3]?”

“Anak saya, suami saya…”

“Itu lebih bagus,” mata lelaki uzur ini malah berbinar.

Mana ada kematian yang patut disyukuri?

“Kamu ini beruntung. Di Negara Jawa, kau tak ada keluarga tersisa. Sedangkan aku, aku akan terus terikat dengan Negara Jawa. Biniku mati, anak perempuanku cerai, sebelas cucuku ditinggal bapaknya. Beruntung kau tak ada yang menahanmu di Negara Jawa.”

“Aku sudah mati ya?”

Terbahak lelaki tua itu sampai terguncang tubuhnya. Kalau sudah mangap begini, bau busuk dari lambung kosongnya mengudara, membuat mengumpat lima sampai sepuluh orang yang mengimpit badannya.

“Justru Gusti Allah baik padamu, kamu dibuat-Nya enyah dari Negara Jawa, menyongsong masa depan cerah. Tidak semua babu beruntung seperti kamu dan aku begini.”

“Masa depan apa, menyongsong ke mana?”

“Suriname!”

“Itu Negara Jawa sebelah mana?”

“Kok Negara Jawa sebelah mana, waduh gawat satu ini. Suriname itu jauh sekali, masa depan yang bahkan Nyai Blorong sendiri tak bakal mampu berenang sampek sana!”

Barulah Roes sadar, badannya yang terguncang saat ini bukan sebab diantar melintasi langit berlapis-lapis, tapi melaju di permukaan detak bahari. Tahu bahwa ia masih hidup, jantungnya malah berloncatan, “Lebih baik mati, lebih baik mati,” katanya mendera diri sendiri.

***

Lelaki tua itu bernama Jamuri, diangkut dari Semarang, Bandar Bergota, sumringah[4] waras luar biasa. Babu perkebunan mana yang bisa lebih beruntung darinya, naik Kapal Prins Willem II begini, bersama tuan dan nyonya meskipun berbeda lantai kapal. Baru kali ini ia naik kapal. Sebelumnya ia bergantung pada dua kaki kerempengnya. Ia pernah sampai di Kediri tanpa ongkos cikar, naik trem apalagi. Selama hidupnya, ia tidak pernah menunggangi apa-apa kecuali kerbau saat panen raya atau bininya sendiri. Mewah, kapal ini begitu mewah baginya.

Pukul sepuluh pagi, lonceng akan berbunyi, bukan tanda untuk sarapan tapi tanda pintu terbuka lebar. Yang terimpit boleh berkeliaran keluar, dan yang mati dilempar ke laut lepas. Roes mengekor pada Jamuri, bukan karena apa-apa, tapi hanya lelaki uzur dan gila ini yang mau mengajaknya bicara.

Persendian tentunya nyeri setelah lolos dari impitan. Jangankan yang sudah kedaluarsa seperti Jamuri, Roes yang masih berusia dua puluh tahun kesulitan mengangkat pantatnya sendiri karena kebas dan linu. Pintu terbuka, orang tak langsung ambyar begitu saja menyongsong udara segar. Mereka berperang dengan tulang dan otot mereka sendiri, lalu mengesot perlahan keluar seperti perampok yang berusaha kabur setelah kakinya ditembaki.

Nanar matahari mengawasi, amarahnya mendidihkan gelombang segara asin; menusuk ubun-ubun, membikin bibir kering, kulit gatal tertimpa terpaan angin lembab dan lengket. Para tuan yang berada di tempat lebih tinggi terlihat ayu dan jatmika dengan tudung dan topi mereka. Melambai-lambai pada gagah paripurna cakrawala dengan sapu tangan berkibar-kibar.

“Lihat Roes, jangan lewatkan semua ini. Kapan lagi kita para babu perkebunan bisa satu kendaraan dengan para nyonya dan tuan?” Perut keroncongan, badan nyeri luar biasa, hati lara, Roes heran darimana Jamuri memanen kesenangannya?

Begitu para babu dapat izin keluar, ruang yang menjadi jagal tak bersenjata itu menyisakan paling tidak seratus korban. Bau pesing dan busuk berkelindan. Babu sebangsa mereka yang masih hidup berdesakan untuk menerima tawaran melemparkan mayat-mayat itu ke laut lepas dengan upah yang tak seberapa.

Jamuri tak ikut berebut mengeluarkan mayat, ia tak mau repot saling pukul dengan saudara sebangsa sendiri untuk menyeret dan melempar bangkai anak bangsa. Bukan karena apa-apa, apalagi etika, Jamuri sekadar menghemat tenaga.

Laut menelan mayat-mayat itu, cebar-cebur gelombang bergolak mengunyah anak bangsa mentah-mentah. Tapi tidak hanya mayat yang termakan olehnya, oleh sang bahari. Kebanyakan perempuan yang kena guna-guna juga melompat seketika itu juga, menyerahkan diri, lelap di kedalaman tak berpeta.

Saat Jamuri menatap domba-domba langit―awan tak bergeming―mata Roes terpancang pada wajah bergolak laut. Jamuri masih tersenyum, masih pula mengoceh. Kadang ia menyanyikan tembang sambil melilitkan lalu mengencangkan ikatan tali rafia di perutnya sebagai penunda lapar.

“Ah, indahnya masa depan! Roes, kita benar-benar beruntung. Ingat itu! Kalau dulu kau cuma babu perkebunan yang hanya berguna di panen raya atau musim giling tebu, lalu di hari-hari lainnya kau kelaparan dan hampir saja memangsa anak-anakmu sendiri sebab saking laparnya, nanti di Suriname kita bakal dikontrak lima tahun. Bayangkan, hidup kita terjamin selama lima tahun. Kalau balik ke Negara Jawa nanti, kau dan aku bikin rumah baru!

“Lihat saja mereka yang menolak kesempatan ini, bakal menyesal bukan main. Lalu kita bakal diarak ke desa-desa oleh mereka, agar mereka bisa kerja seperti―”

“Kau yakin kita tak bakal mati dengan cara yang sama?” Roes tidak memotong omongan Jamuri, tapi karena detik itu juga seorang perempuan muda melompat ke laut lepas dengan wajah layu, was-was, dan bimbangnya, kata-kata meluncur begitu saja dari mulut Roes untuk menampik mimpi siang bolong Jamuri.

“Sudah, sudah, kau jangan terus melihat laut. Nanti pikiran kamu bisa teracuni. Kamu tahu tidak, perbuatan itu dilaknat Allah. Perbuatan itu bisa menular pada orang-orang beriman. Sudah, lihat langit saja, langit memberimu harapan dan sebentar lagi kau bakal menggapainya!”

Satu, dua―delapan perempuan menyerahkan diri pada bahari. Kalau ini masa depan yang bagus, mengapa mereka memilih mati?

“Lalu, mengapa aku hidup dan hanya bisa menonton yang telah mati?”

Iling marang Gusti, Roes! Iling marang Gusti![5]

“Justru sekarang ini hati dan pikiranku penuh dengan Gusti Allah, saking penuhnya aku ingin bertanya langsung saja pada-Nya, di akhirat sana, aku ini dibawa ke mana dan mau kerja apa nanti aku di Suriname sana.”

Jamuri hanya bisa menggeleng meskipun senyum masih belum bosan menunggangi perangainya. Di dunia ini, yang paling keras kepala bukan hanya kematian dan wanita, derita juga sama keras kepalanya.

“Kalau kau tak tahu cara bersyukur, mau bermandi mutiara seperti nyonya-nyonya itu juga kau bakal terus merasa menderita!” Baru saat ini saja Roes menyaksikan senyum musnah dari gugus emosi yang terpancar di wajah Jamuri.

***

Jamuri bersujud mengecup bumi, meski tua bangka begini, ia tiba juga di Paramaribo. Menyebut nama-nama Allah, Jamuri menyeka air matanya sendiri. Pesisir Paramaribo tak takluk diinjak Roes, lutut perempuan itu bergetar, matanya menyisir karang, bukit, dan kesibukan pelabuhan.

Jongos dibariskan, melebar, dan memanjang, patuh berjalan di bawah kendali cambukan. Terus berjalan hingga tiba di area penampungan, dengan bangsal bertingkat, berlajur, berbanjar-banjar. Bangsal di Paramaribo tak berpagar, tak digembok, apalagi diketatkan rantai. Berbeda dengan bangsal di Semarang untuk babu yang mau berangkat ke Suriname. Di Semarang, pagar besi menjulang, gembok terpasang, berkalung rantai.

Paramaribo tak perlu seketat itu. Lagi pula, kalau sudah melintasi segara begini, orang mau kabur ke mana? Sila saja kalau mau berenang kembali ke Negara Jawa!

Tanpa dipukul pantatnya, sapi yang terikat dan ditarik bakal mencak-mencak, binatang itu bakal membelot, melenguh, dan mengamuk. Di Paramaribo, babu adalah sapi yang dibiarkan liar berkeliaran seperti di India di jalanan menanti ajakan para tuan. Kalau melihat atau bertemu orang sedikit necis di jalanan, mereka akan merentangkan tangan dan menyodorkan leher untuk diikat―dibawa pulang.

Jamuri juga menyerahkan diri, tapi tidak ada yang mau membawanya serta. Sudah tiga bulan berlalu, ia tak punya penghasilan, rafia yang mengikat perutnya sudah lantak berserabut dan patah.

Roes sudah memperoleh tuan, yang Jamuri tahu, ia pastilah kerja di perkebunan dengan upah turah-turah[6]. Padahal saat ini Roes sudah jadi bangkai, ia diperkosa beramai-ramai oleh jongos-jongos lelaki yang jauh dari bini mereka. Lalu jasadnya terbakar bersama tumpukan ilalang yang dibuang bersama hama padi lainnya.

“Betapa beruntungnya Roes, betapa beruntungnya. Seharusnya aku yang lebih berhak mendapatkan tuan,” begitu sesal Jamuri setiap ada tuan yang menolaknya.

Jamuri mengira mungkin ia terlihat renta, loyo, dan kurang bersemangat. Sebab itu, ia harus lebih merawak rambang. Kalau perlu ia bakal bergelayutan di kaki tuan, menciumi sepatu yang mengilat-ngilat. Target muncul di hadapannya―seorang tuan―bongsor bertongkat, berseragam putih, bercapil putih pula.

Lantas Jamuri tersungkur menciumi kakinya, merengek, menghamba minta dibawa pulang, agar diberi pekerjaan. Tapi tubuhnya terlempar. Para pengawal tuan menginjak-injak badannya. Matahari terik di pesisir Paramaribo mengecup kening bonyoknya, menyapu seluruh persendiannya yang retak lantak; perih, panas, dan basah. Saat ini, bukan cucu atau anaknya di Negara Jawa yang sedang ia pikirkan, tapi ucapan Roes, baik di siang bolong saat dirinya menatap cakrawala atau dalam lelap saat perempuan itu mengigau;

Mau di sini atau di sana, kita semua toh bakal mati dengan cara yang sama.


-SELESAI-


[1] Pengawas perkebunan

[2] kan

[3] Nak (Perempuan)

[4] riang

[5] Ingat Allah, Roes! Ingat Allah!

[6] Melimpah ruah

Bagikan:

Penulis →

Putriyana Asmarani

Penulis esai dan cerpen. Risetnya Politik Identitas Raja-raja Melayu mendapatkan beasiswa riset di National University of Singapore. Cerpennya lolos sebagai salah satu dari Sepuluh Naskah Terbaik, Sayembara Cerpen Festival Sastra Kota Malang (2024). Ia banyak menulis esai perjalanan di TelusuRI. Esai, cerpen, dan puisinya terbit di media masa nasional dan internasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *