DI TENGAH hiruk-pikuk kota di sebuah sudut yang terlupakan, berdiri sebuah rumah tua nan asing yang siap terlupakan oleh waktu. Dindingnya dipenuhi lumut, jendela-jendela dari kayu berderit ketika diterpa angin, dan halaman rumah yang tertutup oleh semak-semak liar. Kata penduduk disana pemilik rumah itu adalah Bram, sosok penulis terkenal dengan karyanya yang telah memikat hati banyak orang, namun kini sosoknya tinggal legenda yang samar. Sudah hampi dua dekade sejak Bram yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak.
Bram tidak hanya sekedar penulis, ia dikenal debagai pencipta dunia. Setiap novelnya dapat membawa pembaca ke alam lain, tempat serta karakter-karakternya hidup dan berjuang dengan begitu nyata. Kata-kata yang tergambar dalam novelnya begitu misterius, dan seringkali menyembunyikan makna tersembunyi di antara kalimatnya. Namun tiba-tiba, dimasa kejayaannya Bram menghilang. Tak ada satu pun orang yang tahu kemana ia pergi, bahkan naskah terakhirnya yang konon menjadi mahakarya penutup tak pernah selesai. Sosoknya tak lagi terlihat di desa itu, bahkan pernah dilakukan pencarian besar-besaran oleh penduduk di sana, akan tetapi tak pernah membuahkan hasil, lambat laun sosok Bram kini tinggal nama yang dikenang disana.
***
Di tengah misteri tersebut, seorang gadis muda bernama Dhisa datang ke kota tersebut. Dhisa, dia dikenal sebagai penulis novel amatir yang tumbuh dengan membaca karya-karya Bram. Dari kecil sosok Bram menjadi sosok yang hebat bagi Dhisa, bahkan karya-karyanya begitu berpengarauh dalam hidupnya, ta khayal hal tersebut mendorongnya menjadi seorang penulis. Ia pun bertekad menemukan jawaban atas misteri hilangnya penulis idolanya, meskipun banyak yang menyebut usaha tersebut sia-sia. Tapi Dhisa yakin, dibalik halaman yang Bram tulis terdapat sesuatu yang belum terungkap.
Setelah berminggu-minggu meneliti, Dhisa menemuka sebuah petunjuk kecil di salah satu buku Bram yang jarang dibaca: “Di antara baris-baris tersembunyi” tertulis dengan tinta yang mulai pudar. Catatan tersebut berbunyi, “Jika kau mencari kebenaran, jangan hanya membaca. Masuklah ke dalam cerita.”
Kalimat itu terdengar aneh menurutnya, dengan rasa penasaran yang tinggi Dhisa pun mencari dan akhirnya menemukan alamat rumah lama Bram. Rumah itu masih berdiri dengan kokoh meskipun sudah terlihat usang karena terbaikan oleh waktu. Dengan perlahan diiringi debaran jantung yang berdetak cepat Dhisa melangkah masuk.
Di dalam rumah, Dhisa disambut oleh kesunyian yang aneh. Ruang tamu yang penuh dengan buku-buku yang menumpuk di di rak-rak tua, dinding dengan cat mengelupas srta sarang laba-laba yang menempel dimana-dimana. “Terlihat sekali kalau ini rumah seorang penulis” pikirnya.
Ia berjalan perlahan, mengamati setiap sudut ruangan berharap menemukan petunjuk tentang Bram disana. Sampai di ruang kerja Dhisa melihat meja kayu tua di sudut, dengan mesin ketik yang tampak masih utuh di atasnya. Dhisa pun mendekat ke sana, dan tampak buku-buku, pena serta kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Di sinilah kemungkinan karya-karya besar Bram lahir, pikirnya. Namun, di tengah pencariannya terdapat satu buku yang menarik perhatian Dhisa, buku itu terletak di meja tertumpuk oleh kertas-kertas. Judulnya “Di Balik Halaman.”
Dengan hati-hati Dhisa membuka halaman pertama buku. Tidak ada yang aneh, hanya prolog biasa. Namun, ketika ia sampai di halaman terakhir, tiba=tiba tulisannya berubah. Kalimat-kalimat yang sebelumnya rapi kini tampak kabur dan berantakan. Kata-kata tersebut berputar-putar dan membentuk pola pola yang sulit dimengerti, yang kemudian membentuk suatu kalimat “Masuklah ke dalam cerita”. Seketika sesuatu yang aneh terjadi, ruangan di sekitarnya terasa berputar, Dhisa merasakan suatu tarikan kuat, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang menariknya ke dalam halaman-halaman buku tersebut. Dhisa mencoba mundur, namun tubuhnya seolah terjebak dalam tarikan yang tak tertahankan. Dunia sekitar perlahan mengabur, dan sebelum ia menyadarinya Dhisa sudah tak lagi berada di ruang kerja Bram. Melainkan dunia asing yang hanya bisa ia banyangkan di dalam mimpi.
***
Dunia itu dipenuhi pepohonan yang menjulang tinggi dan jalan seapak yang tak berujung. Di sana-sini terlihat sosok-sosok yang samar, seperti bayangan yang mengintai dari kejauhan. Dhisa terperangah, apakah ini bagian dari dunia yang diciptakan Bram? Dan bagaimana bisa ia berada di sini?
Tak lama kemudian, ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Ketika ia berbalik, ia melihat seorang pria yang sudah lama ia kagumi, namun hanya lewat potret di sampul buku_Bram. Bram masih sama seperti yang ia ketahui sebelum menghilang, matanya masih sama penuh dengan kebijaksanaan yang dalam hanya saja tidak secerah dulu, yang tampak sekarang hanya gurat kelelahan yang tak bisa disembunyikan.
“Selamat datang,” kata Bram pelan. “Aku tahu kau akan datang, cepat atau lambat.”
Dhisa menatapnya tak percaya. “Ini… ini benar-benar kau?” tanyanya terbata-bata.
Bram mengangguk. “Ya, ini aku. Tapi aku bukan lagi penulis di dunia nyata. Aku telah menjadi bagian dari cerita yang kubuat sendiri.”
Dhisa masih bingung, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.”Bagaimana kau bisa terjebak di sini?” tanyanya.
Bram tersenyum getir. “Aku menulis terlalu dalam, terlalu kuat. Dunia yang kubuat menjadi terlalu nyata, dan pada akhirnya, aku kehilangan kendali. Aku tidak bisa lagi keluar Dhisa. Sekarang, aku adalah bagian dari cerita ini”
Dhisa merasa sesak. “Tapi… kenapa kau tidak kembali? Banyak orang yang menunggu karyamu. Mereka merindukan tulisanmu.”
Bram menatap Dhisa dengan tatapan yang lembut penuh dengan penyesalan. “Karya terakhirku belum selesai, karena akhir dari cerita ini ada di dalam diriku sendiri. Aku membuat dunia ini terlalu hidup, hingga aku tersesat di dalamnya.”
Dhisa merasa harapan yang tadi begitu besar perlahan memudar. “Jadi, kau tidak bisa kembali?”
“Bukan aku yang harus kembali,”Kata Bram. “Tapi kau. Kau bisa keluar dari sini, Dhisa. Kau bisa menulis akhir cerita ini.”
Dhisa tersentak. “Aku? Bagaimana mungkin aku…”
“Kau seorang penulis Dhisa. Seorang penulis memiliki kekuatan untuk membentuk dunia dengan kata-kata, itulah yang kubuat. Tapi sekarang, kau yang harus menyelesaikannya. Dunia ini membutuhkan akhir, dan hanya kau yang bisa menuliskannya.” Ucapnya diiringi senyuman.
Dengan seketika dunia itu berubah, dari yang dipenuhi oleh pohon-pohon tinggi berubah menjadi hamparan padang bunga yang indah. Suasana yang tadinya asri berubah menjadi tenang dan indah. Bram yang tadi ada didepannya pun juga turut menghilang Bersama dunia tadi, pikiran Dhisa mulai berkelana, mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
“Hai penulis, selama datang di dunia kami,” sebuah suara lembut muncul menyapanya. Dhisa mengerjap beberapa kali mencari sumber suara yang tidak ada wujudnya.
“Siapa itu?” tanyanya.
“Aku di sini, di bawah” Dhisa terkejut, berbalik kemudian menunduk kearah salah satu bunga. Matanya menerjap antara percaya dan tidak terhadap sosok yang dilihatnya sekarang. Di sana ia melihat sosok makhluk kecil bersayap, berpakaian putih, di atas kepalanya tampak suatu bunga seperti mahkota. “Hai Dhisa.” Sapa sosok tersebut.
“Siapa kamu?” tanya Dhisa, berusaha memahami situasi aneh ini.
“Aku adalah karakter dari salah satu cerita Bram, namaku Lucy,” jawabnya. Lalu sosok itu terbang mengelilingi Dhisa, berputar-putar sejenak kemudian hinggap di bahu Dhisa. “Bukannya kamu sudah bertemu dengan Bram tadi?” tanyanya.
Dhisa menatap Lucy dengan tatapan penuh kebingungan, mencoba mencerna segala sesuatu yang telah terjadi. Ia belum sepenuhnya percaya bahwa dirinya kini berada di dalam cerita yang diciptakan Bram. Namun, setelah bertemu Bram dan mendengar pengakuannya, Dhisa mulai merasakan kebenaran dari segala hal yang terjadi.
“Aku memang bertemu dengan Bram,” Dhisa menghela napas panjang. “Dia bilang aku harus menulis akhir dari cerita ini agar bisa keluar. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya.”
Lucy tersenyum, sayap kecilnya mengepak pelan. “Bram benar. Hanya kau yang bisa menulis akhir cerita ini. Tapi jangan khawatir, Dhisa. Aku di sini untuk membantumu.”
Dhisa merasa sedikit lega, meski masih diliputi rasa takut dan kebingungan. “Jadi, apa yang harus aku lakukan? Dunia ini terasa begitu luas dan penuh teka-teki. Bagaimana aku bisa menemukan jalan keluarnya?”
Lucy terbang mengitari Dhisa sekali lagi sebelum berhenti di hadapannya. “Dunia ini dibangun dari kata-kata, seperti cerita yang ditulis di halaman sebuah buku. Untuk menyelesaikan cerita ini, kau harus menemukan ‘inti cerita’ – sebuah tempat di mana semua jawaban tersembunyi.”
“Di mana aku bisa menemukan inti itu?” tanya Dhisa sambil menatap padang bunga di sekitarnya, berharap menemukan petunjuk.
“Jauh di dalam hutan, di tempat di mana semua kata-kata bertemu,” jawab Lucy sambil menunjuk ke arah yang tampak seperti jalur sempit di antara pepohonan yang tinggi. “Tapi ingat, Dhisa, perjalanan ini bukan hanya tentang menemukan jawaban. Kau juga harus menghadapi bagian dari dirimu sendiri yang belum kau selesaikan.”
Dhisa merasa ada sesuatu yang berat di dadanya, seolah-olah ada bagian dari dirinya yang telah lama ia abaikan. Namun ia tahu, jika ingin keluar dari dunia Bram, ia harus menghadapi apa pun yang menantinya di sana.
“Baiklah,” katanya sambil mengumpulkan keberanian. “Aku akan mencari tempat itu.”
***
Perjalanan Dhisa melalui hutan terasa panjang dan melelahkan. Sepanjang jalan, ia melihat bayangan-bayangan samar dari karakter-karakter yang pernah dibaca dalam novel Bram, seolah-olah mereka mengintainya dari balik pepohonan. Beberapa dari mereka tampak seperti sosok-sosok yang akrab, sementara yang lainnya terasa asing namun menakutkan.
Akhirnya, setelah berjam-jam berjalan, Dhisa tiba di sebuah lembah yang dipenuhi oleh akar-akar pohon besar yang meliuk-liuk di tanah. Di tengah lembah itu, tampak sebuah batu besar dengan tulisan yang terukir di permukaannya. Kata-kata itu tampak seperti potongan-potongan kalimat dari berbagai cerita yang pernah ia baca.
Lucy, yang selama ini terbang di sisinya, mendarat di atas batu tersebut. “Inilah inti dari cerita ini, Dhisa. Di sini, kau harus menulis akhir dari semua yang terjadi.”
“Tapi bagaimana caranya?” Dhisa bertanya. “Aku bahkan tidak tahu bagaimana cerita ini seharusnya berakhir.”
Lucy menatapnya dengan lembut. “Akhir cerita ini tidak harus sempurna, Dhisa. Yang penting adalah bahwa itu datang dari dalam dirimu. Tanyakan pada hatimu, bagaimana kau ingin cerita ini berakhir? Apa yang kau inginkan untuk Bram, untuk dirimu sendiri, dan untuk dunia yang kau ciptakan dengan kata-kata?”
Dhisa terdiam sejenak, memikirkan apa yang Lucy katakan. Dalam benaknya, ia mulai menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang menemukan akhir untuk cerita Bram, tapi juga tentang menemukan akhir bagi dirinya sendiri—jawaban atas keraguannya sebagai penulis, atas ketidakpastiannya dalam hidup.
Dengan hati-hati, Dhisa merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan pena kecil yang selalu ia bawa. Di depan batu besar itu, ia mulai menulis di udara, dan kata-kata yang ia tulis berubah menjadi cahaya yang menyatu dengan ukiran-ukiran di batu itu.
“Aku ingin Bram kembali ke dunia nyata,” tulisnya dengan tangan yang sedikit gemetar. “Dan aku ingin dia menyelesaikan cerita yang dia mulai.”
Seketika, batu besar itu bersinar terang, dan dunia di sekitarnya mulai bergetar. Pepohonan di sekelilingnya mulai memudar, dan langit di atasnya berubah warna. Dhisa menutup matanya saat cahaya semakin terang, hingga akhirnya semuanya lenyap.
***
Ketika Dhisa membuka matanya lagi, ia tidak lagi berada di lembah itu. Ia kembali ke ruang kerja Bram, berdiri di depan meja kayu tua yang masih dipenuhi oleh buku-buku dan kertas-kertas berserakan. Namun, kali ini ada yang berbeda. Mesin ketik di atas meja berbunyi pelan, dan di sana, duduk di kursi, adalah Bram—yang kini terlihat segar, seolah-olah beban yang dulu ia pikul telah hilang.
Bram menatap Dhisa dengan senyum hangat. “Terima kasih, Dhisa. Kau telah menuliskan akhir yang kubutuhkan bahkan membuatku keluar dari dunia tersebut”
Dhisa tersenyum lega, merasa perasaannya menjadi lebih ringan. “Jadi, kau sudah bisa keluar dari ceritamu?”
Bram mengangguk. “Ya. Kau telah membebaskanku. Sekarang, aku bisa menyelesaikan cerita ini di dunia nyata.”
Dhisa merasa dadanya menghangat. Ia tahu bahwa meskipun ia adalah penulis amatir, ia telah melakukan sesuatu yang besar, ia telah menyelamatkan seorang penulis yang selama ini menjadi inspirasinya, dan lebih dari itu, ia telah menemukan kekuatan dalam dirinya sendiri.
Bram berdiri dari kursinya dan menepuk bahu Dhisa. “Kau punya bakat, Dhisa. Jangan pernah meragukan dirimu lagi. Teruslah menulis, dan kau akan menciptakan dunia-dunia yang tak terduga.”
Dengan perasaan yang penuh harapan, Dhisa meninggalkan rumah tua itu, melangkah keluar ke dunia nyata dengan keyakinan baru. Ia tahu, petualangannya sebagai penulis baru saja dimulai, dan dengan setiap kata yang ia tulis, dunia baru akan terbuka di hadapannya.
– Selesai –