Setelah Superheroku Pergi



13 Mei 1998
(17.00)

Ruangan ini semakin terasa sesak, tidak ada jendela di sisinya, asap memenuhi setiap sudut ruangannya, dan api terus merambat ke langit-langit tanpa rasa malu. Suara teriakan di luar semakin keras, sayangnya teriakan itu seperti anjing yang menggonggong. Tidak ada celah untuk harapan, hanya do’a yang selalu terucap di sela-sela nafas yang tersisa.

“Nonaaaa!!! Kamu di dalam? Tolong respon saya!”

Harapan itu muncul kembali, bak kilat yang membelah kegelapan. Suaranya khas, dia langsung dapat menebak siapa itu. Ya, superhero yang tidak ada duanya.

“Ayah, tolong Nona ada di dalam. Ayah, tolong Nona takut. Ayah, di sini panas.”

Gea berusaha menjawab dengan sisa tenaga yang ada. Begitu selesai menjawab, tubuhnya tak mampu bertahan lagi, ia terjatuh, dan tenggelam dalam kegelapan.

(19.00) kamar 025

Dia membuka matanya perlahan. Cahaya redup dengan aroma antiseptik itu membuatnya tersadar di mana ia sekarang. Tangannya kini terasa kaku, jarum yang tertancap di tangannya membuatnya sedikit tak nyaman, dan cairan bening itu mengalir perlahan melalui selang. Tak peduli dengan rasa sakit di badannya, Gea tetap memilih untuk berdiri dan beranjak meninggalkan ruangan itu. Tepat saat tangannya hendak memegang kenop pada pintu, pintu itu terbuka. Suster itu masuk dengan langkah tenang, mengenakan seragam putih bersih yang selalu tampak rapi. Wajahnya menunjukkan rasa perhatian, matanya penuh empati.

“Hai, kamu sudah siuman? Bagaimana badannya, apa ada rasa sakit?” Suster itu menyapa halus.

Gea menjawab dengan muka gelisah, “Aku mau bertemu dengan ayahku, Sus. Tolong antar aku.”

Tak ada jawaban. Suster hanya meraih tangannya, dan mengajak ke sebuah ruangan. Ruangan itu tampak sedikit jauh dan menyendiri. Hanya ada satu kasur di dalamnya yang diselimuti kain putih. Seketika isak lembut terdengar dari tenggorokannya, tubuhnya gemetar, air matanya mengalir membasahi pipinya, namun sebelum dia bisa mengontrol dirinya, pandangannya mulai kabur dan tubuhnya jatuh lemas tak sadarkan diri.

14 Mei 1998 (07.00)

Matahari menyapa bumi tanpa rasa malu, dan jam pun ikut merayakan dengan sorakan tiap detiknya. Pagi ini menjadi saksi atas duka pilu yang menyelimuti Gea. Tak pernah terbayangkan hari di mana sosok super hero meninggalkan dirinya yang sedang lucu dan manja. Ya, Ayah telah berpulang setelah berhasil menjadi super hero yang tidak akan pernah terlupakan, meskipun kini meninggalkan goresan luka pada hati kecilnya.

Matanya yang lebam menatap kosong papan yang tertancap digundukan tanah. Tak peduli dengan kotornya tanah yang menempel pada bajunya, dan waktu yang ia habiskan untuk melamun di hadapan segunduk tanah yang tertancap papan. Tangannya tidak bisa diam, sedari tadi ia memainkan tanah coklat yang ada di hadapannya, sembari mengajak ngobrol benda mati itu.

“Ayah, ini yang Nona takutkan dari dulu. Nona sekarang benar-benar sendiri, Nona nggak tahu harus bagaimana. Nona takut,” ucap Gea sambil meneteskan air mata.

“Om ada di sini, Gea. Gea akan tinggal bersama om, jadi jangan takut Gea sendiri.” Om Ardhan berkata seraya memeluk Gea. “Ayo kita pulang, ambil barang-barang Gea lalu kita ke rumah om ya.”

Gea lupa bahwa di dunia ini masih ada yang sayang padanya. Meski sayangnya tidak bisa mengalahkan sang super hero. Om Ardhan adalah adik kandung ayah satu-satunya, keluarga besar yang hanya dimiliki Gea sekarang.

17.00

Gea kembali ke rumah ini. Rumahnya masih utuh. Yang terbakar kemarin adalah warung sembako milik ayahnya. Kalau bisa meminta, ia ingin sekali kembali ke hari di mana sang super hero meninggal karenanya.

“Harusnya kemarin aku saja yang meninggal, harusnya aku tidak usah meminta tolong ayah untuk bantu aku keluar dari ruangan panas itu.” Gea meringkuk menangis, dengan foto ayahnya yang ia peluk erat.

Tak ada yang tahu bagaimana kejadian sebenarnya. Mengapa tiba-tiba ayahnya meninggal, dan tidak ada yang bisa ditanya juga tentang hal ini. Jika bisa berandai, Andai Gea tidak pingsan saat itu, pasti ia tahu jawaban besar yang sebenarnya ingin sekali ia ketahui.

Rumah ini sekarang benar-benar sepi. Teringat setiap sudutnya dulu punya kenangan masing-masing, kenangan hangat yang dibangun oleh keluarga kecil yang terdiri dari sepasang suami istri yang saling mengasihi dan anak tunggal indahnya yang diberi nama Geanona Allura. Sebelum Gea benar-benar meninggalkan rumah ini, ia mengelilingi setiap sudut di rumahnya dengan tangisan yang pecah. Air mata itu tidak pernah habis, buktinya dari kemarin ia menangis dan sekarang pun menangis tetap saja air itu mengalir deras.

20.00 (Bye home)

Tak pernah terbayang di pikirannya tentang hari di mana ia menaiki sebuah mobil bukan untuk pergi berlibur, tapi untuk meninggalkan rumah kesayangannya ini. Ia membuka kaca mobil dan melambaikan tangan ke rumahnya untuk terakhir kali. Seketika air mata itu mengalir deras kembali. Mobil itu sunyi, hanya terdengar suara isak tangis dari sang nona. Latar jalan raya terus berganti, hingga sampailah ia di Depok.

Rumah putih mewah terbentang di depan mata. Pagar besar terbuka karena sensor menangkap sinyal mobil itu. Nyatanya memang rumah ini lebih besar daripada rumahnya di Jakarta. Dia hanya berharap rumah ini bisa menerima kehadirannya dan membawa kehangatan dalam hidupnya. Ia diantar ke sebuah kamar dengan cat berwarna biru, dan hiasan yang ditempel rapi di dindingnya. Kamar ini begitu indah dan mewah.

15 Mei 1998 (08.00)

Burung menyapa dengan siul indahnya, matahari menyoroti bumi hingga sorotnya menusuk jendela kamar Gea. Pagi ini terasa sepi, tak ada lagi yang membangunkan. Semua harus ia lakukan mandiri, meskipun di sini ia tinggal bersama om dan tantenya. Ia keluar dari kamar menuju dapur. Meja makan terlihat terpampang di dapur, menghadap pintu kaca besar yang langsung bisa melihat taman hijau di pekarangan rumah om-nya.

“Pagi, Gea,” sapa Tante Mora. Istri dari Om Ardhan.

“Pagi, tante,” Gea menjawab sapaan itu.

Hanya sampai di situ percakapan mereka pagi ini. Tidak ada percakapan panjang yang dilanjutkan. Karena memang dari awal sejak Gea mengenal Tante Mora, ia mengetahui bahwa tantenya adalah sosok yang ketus. Sebenarnya ia takut dengan tantenya itu, karena dia tahu apa yang pernah tantenya lakukan.

Tante Mora bekerja sebagai model, tidak setiap hari, itu mengapa pagi ini ia ada di rumah. Tapi kalau sudah sibuk dengan kerjaannya, ia tidak akan ingat dengan pulang. Seperti saat hari duka kemarin, beliau lagi sibuk-sibuknya dengan kerjaan, jadi tidak sempat ikut melayat ke Jakarta. Padahal itu adalah hari duka bagi suaminya.

Dulu saat masih kecil, Gea pernah mendengar isu tentang Tante Mora yang mencuri uang omanya, dan setelah beberapa bulan kejadian itu omanya meninggal dunia. Gea juga pernah mendengar tentang isu kalau Tante Mora yang menjual mobil ibu setelah ibu meninggal, tapi ayah tidak pernah menceritakan tentang kejadian itu lagi. Jadi Gea hanya berharap kejadian itu tidak benar terjadi. Gea juga berharap tantenya ini sudah berubah.

Gea melakukan aktifitas seperti biasa: makan, membaca buku, dan tidur. Ia belum mulai bersekolah lagi, karena masih dicarikan sekolah yang cocok dengannya.

20 Mei 1998

Tak ada yang berubah secara signifikan. Lagi-lagi Gea belum sekolah, dengan alasan masih dicarikan sekolah yang cocok untuknya. Ia pernah bertanya “Om kapan Gea sekolah?” Lalu Om Ardhan hanya menjawab, “Tante Mora sedang mencarikan sekolah yang cocok untukmu Gea, tapi belum menemukannya.” Setelah mendengar jawaban itu Gea tidak pernah bertanya lagi perihal sekolah.

Om Ardhan mengetuk pintu kamar Gea, lalu membukanya. Om Ardhan dan Tante Mora menghampiri Gea.

Mereka menyapa “Gea baik?”

Gea hanya menjawab “Gea sehat, Om, Tan.”

“Om sudah menemukan sekolah yang tepat untukmu.” Pembicaraan ini dimulai.

“Wah, Gea sangat senang. Terima kasih ya, Om dan Tante,” Gea menjawab dengan riang gembira.

“Besok kita akan mengantar Gea ke sekolah tersebut, semoga Gea betah di sana,” Tante Mora berkata seraya memegang tangan Gea.

“Gea jangan tidur terlalu malam, karena besok kita akan berangkat jam 06.00 pagi. Jangan lupa baju Gea dirapikan dan dimasukkan ke dalam tas. Sekolah Gea mengharuskan Gea menginap, jadi nanti Gea tidur di sana ya. Gea tidak apa-apa kan?” Tanya Om Ardhan.

“Tapi om dan tante akan selalu jenguk Gea kan?” ia takut semuanya berubah.

“Insyaallah, Gea, kalau om dan tante tidak sibuk ya,” Jawaban ini menjadi penutup dari pembicaraan hari ini.

Om Ardhan dan Tante Mora kembali ke kamarnya. Gea pun pergi ke kamar mandi untuk menggosok gigi, cuci muka, lalu tidur di kamar itu untuk terakhir kalinya.

21 Maret 1998

Mobil mereka telah sampai di pekarangan pesantren yang luas. Pesantren ini berada di Bogor, Jawa Barat. Om Ardhan memarkirkan mobil di depan plang bertuliskan ’Pesantren Aisyah’. Mereka turun dari mobilnya, disambut hangat oleh para Ustadzah. 

“Assalamualaikum. Selamat datang, Gea,” ucap seluruh Ustadzah.

“Wa alaikumsalam, terimakasih, Ustadzah.” Gea tersenyum dan menghampiri, lalu bersalaman dengan para Ustadzah.

Beberapa kakak kelas di pesantren itu membantu membawakan barang Gea, menuju kantor. Di sana Gea menghadap ketua pengurus pesantren tersebut, yaitu Ustadzah Ami. Ustadzah Ami bertanya satu dan dua hal kepada Om Ardhan, tentang latar belakang Gea, dan kondisi kesehatan Gea. Om Ardhan hanya menjawab sejujur-jujurnya. Tak ada yang ditutupi, apalagi perihal Gea yang sudah yatim piatu.

Gea ditinggal sebentar oleh Ustadzah Ami di ruangannya bersama om dan tantenya. Om Ardhan dan Tante Mora berpamitan. Gea menangis sejadi-jadinya. Ia sedih karena harus ditinggal oleh om dan tantenya itu.

“Om akan jenguk Gea kan saat hari penjengukan?” Gea memeluk Om Ardhan sambil menangis.

“Om tidak janji, kalau om ada waktu ya, Gea.” Jawaban yang dilontarkan itu membuat Gea makin menangis kencang. Tante Mora tidak berkutip apapun dari tadi. Ia hanya diam dan mengelus punggung Gea.

Ustadzah Ami kembali, ia menjeput Gea untuk diantar ke kamarnya. Ini adalah perpisahan terakhir Gea dengan tante dan om nya itu. Gea memeluk om dan tante nya untuk terakhir kalinya, dan berkata “Om, tante, terimakasih banyak, telah menyekolahkan, Gea. Maaf kalau Gea selama ini merepotkan.”

Lalu Gea beranjak pergi mengikuti Ustadzah Ami menuju kamarnya. Pesantren ini tidak mewah, cat dindingnya saja sudah banyak yang pudar. Ia diantar ke sebuah kamar berukuran 4×4 meter. Teman-teman disana menyambutnya hangat. 

Di sini, aku akan melanjutkan hidupku. Ucap Gea dalam hati.

7 Juni 1998

Hari-hari berlalu begitu cepat. Gea mulai bisa beradaptasi dengan padatnya jadwal pesantren, yang sebentar lagi akan melaksanakan ujian akhir tahun. Semua pelajaran bisa Gea ikuti dan mengerti dengan cepat. Umurnya sebentar lagi menginjak usia 15 tahun.

Sekarang dia mempunyai kekhawatiran yang besar, yaitu kenapa om dan tantenya tidak pernah menjenguk, bahkan mengabarinya lewat telepon. Ia selalu bertanya kepada para Ustadzah, tapi Ustadzah hanya menjawab,“Mungkin mereka sibuk, Gea yang sabar ya.” Dia sedih setiap kali melihat teman-temannya dijenguk, sedangkan dia mengetahui kabar om dan tantenya saja tidak tahu.

Kegelisahan itu terus memuncak. Pikiran yang selalu melayang di kepalanya membuat ia susah membedakan mana yang hanya halusinasi dan mana yang benar-benar terjadi.

10 Juni 1998

*Aaaakkkk!

Suara keras itu lagi-lagi membuat satu asrama heboh. Pagi ini, sudah ketiga kalinya Gea berteriak histeris. Ustadzah langsung menghampiri Gea. Gea hanya menangis meringkuk di atas kasur.

Gea berubah drastis. Ia mulai berbicara dengan sosok yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Ia tersenyum, tertawa, lalu menangis tanpa alasan yang jelas. Halusinasi tentang ayahnya menjadi semakin sering, dan dunia imajinasinya perlahan menggantikan realitas.

“Hiks… Ustadzah tadi Gea bertemu ayah. Saat Gea ingin memeluknya, ayah langsung pergi. Ustadzah, ayah jahat. Sekarang ayah tidak mau dipeluk Gea lagi.” Tangis itu semakin pecah. Semua orang memandang Gea kasihan.

“Gea yang sabar kita doakan ayah bersama-sama ya.” bujuk Ustadzah Ami sembari memeluk erat Gea.

Gea bukan lagi seperti yang mereka kenal. Gea yang pemalu, tapi mudah bersosialisasi, dan suka menghibur dengan cerita anehnya. Setiap hari menjadi ujian bagi para pengurus pesantren. Pernah suatu hari saat sedang kajian, Gea berdiri dan menunjuk ke sudut ruangan sambil berkata,“Ayah jangan pergi.” Mungkin itu terlihat seram, tapi percayalah apa yang ia lihat sebenarnya tidak ada, itu hanya halusinasi. Halusinasinya sudah menguasai dirinya, sehingga apa yang sebenarnya suka ia lihat itu tidak benar-benar ada.


20.00

Di kantor pesantren, Ustadzah mencoba menelepon om dan tantenya Gea. Namun nomor yang mereka hubungi tidak pernah mengangkat telpon darinya, bahkan sekarang nomor itu memblokir nomor telepon pesantren.

“Saya khawatir. Mereka seperti lepas tangan begitu saja soal Gea. Padahal Gea sedang membutuhkan keluarganya,” ucap Ustadzah Ami ke Ustadzah Siti.

“Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, kondisi Gea semakin parah. Saya takut ini bukan sekedar trauma,” jawab Ustadzah Siti.

“Lalu kita harus bagaimana?” Ustadzah Ami bertanya resah.

“Besok kita bawa Gea ke rumah rehabnya Ustadzah Salamah. Sekarang kita bujuk dia untuk tidur,” Ustadzah Siti berusaha menenangkan Ustadzah Ami.

Mereka kembali ke kamar Gea. Gea masih dengan posisi yang sama, duduk meringkuk melamun di atas kasurnya.

“Gea sudah sholat?” tanya Ustadzah Siti.

“Sudah Ustadzah,” jawab Gea.

“Gea harus tidur sekarang. Besok kita akan jalan-jalan,” bujuknya sambil mengelus punggung nona manis itu.

Tidak menjawab, Gea hanya melaksanakan apa yang Ustadzah Siti perintahkan. Ia meraih selimutnya, membaca doa dibantu Ustadzah Siti, lalu ia tertidur pulas.

“Syukur, kamu bisa tidur malam ini. Kamu anak baik Gea, tapi sayang kamu harus ditimpa masalah berat seperti ini,” Ustadzah Siti berkata dalam hati sambil mengelus rambut Gea.

11 Juni 1998

Sebuah mobil datang ke pesantren. Lampu mobil itu tampak menyoroti halaman pesantren. Kala itu matahari masih malu-malu memperlihatkan dirinya. Jam masih menunjukkan pukul 06.00. Mobil itu yang akan membawa Gea ke rumah rehab, seperti yang direncanakan oleh Ustadzahnya kemarin. Gea dibawa masuk oleh Ustadzah Siti ke dalam mobil. 

Sampailah mereka ke rumah rehab milik Ustadzah Salamah. Gea diantar ke lobi utama oleh Ustadzah Siti. Di sana mereka bertemu Ustadzah Salamah. Disinilah akhir pertemuan Gea dengan ustadzah Siti. Gea nangis histeris dan berkata, “Semua orang ninggalin Gea. Dan kali ini Gea dibuang lagi, sampai kapan Gea dibuang terus? Gea ingin kembali bersama ayah saja.”

Ustadzah Siti tidak bisa membendung air matanya.

12 Juni 1998 (Hari pertama di rumah rehabilitas)

Di rumah ini Gea tampak seperti boneka yang kehilangan nyawa. Tatapannya kosong menatap dinding putih di hadapannya, membiarkan perawat memandikannya, menggantikan bajunya, bahkan memberinya makan.

Hari itu rumah rehab kedatangan dokter psikolog baru, bernama Dokter Puspa. Ia menyapa setiap karyawan yang ada, dan para pasien di sana. Sayang, hanya Gea yang tak memberi respon sapaan itu.

Ia menghampiri Gea, dan bertanya-tanya kepada Gea. Gea yang tidak suka dengannya hanya menjawab ketus setiap pertanyaan yang dilontarkan. Tentu itu tidak membuat Dokter Puspa menyerah. Ia berkata kepada Ustadzah Salamah, “Gea hanya butuh orang yang siap menemaninya, dan insyaallah saya siap menemaninya sampai ia pulih.” Ia kini berjanji kepada Ustadzah Salamah, bahwa dia akan membantu menyembuhkan penyakit Gea.

13 Juni 1998

Ini hari pertama Gea melakukan terapi dengan Dokter Puspa. Gea berjalan mandiri menghampiri ruangan Dokter Puspa, ditemani oleh seorang suster. Dokter menyapa hangat saat melihat Gea membuka pintu ruangan itu. Sekarang Gea sudah tidak seketus kemarin. Ia mulai membuka diri pada sang dokter meski ia enggan menjawab beberapa pertanyaan yang dilontarkan. Tapi dengan kesabaran yang dimiliki sang dokter, ia berhasil meluluhkan hati Gea.

Dokter mencari tahu apa yang Gea suka, yaitu es krim. Saat itulah terapi dimulai. Dokter membelikan es krim Strawberry kesukaannya. Gea tidak bisa menolaknya.  

Gea mempunyai jam terapi khusus, tidak seperti pasien lain. Setiap saat adalah jam terapinya, 24 jam ia selalu ditemani Dokter Puspa. Di saat itulah Dokter Puspa bisa menggali informasi lebih tentang Gea, membuatnya lebih mudah untuk membantu Gea sembuh.

20 Juni 1998

Hari-hari berlalu. Hubungan Gea dengan Dokter Puspa semakin erat. Meski Gea masih sering tenggelam dalam dunia halusinasinya, kehadiran Dokter Puspa menjadi jangkar yang membawanya kembali ke realitas.

“Gea, kalau kamu memang suka es krim, kapan terakhir kali kamu makan es krim bersama ayah?” tanya Dokter Puspa sambil menyodorkan es krim ke Gea.

Gea mengerutkan dahi, berusaha mengingat. “Hmmm Gea tidak terlalu ingat, sepertinya saat ulang tahun Gea, saat itu ayah bilang kalau ayah sayang sama Gea.”

Dokter Puspa tersenyum, “Sekarang kalau ayah bisa lihat Gea, apa yang ingin Gea katakan?”

“Gea mau bilang, kalau Gea kangen sekali dipeluk ayah” Mata Gea berkaca-kaca, dan Dokter Puspa langsung memeluk Gea.

Setiap hari, Dokter Puspa menggunakan pendekatan lembut untuk memahami apa yang ada dalam pikiran Gea. Ia menciptakan rutinitas harian yang penuh dengan aktivitas ringan, seperti menggambar, membaca cerita, dan sesi terapi bicara. Sore ini adalah waktunya mereka untuk bergambar. Dokter Puspa membawakan selembar kertas dan pensil.

“Gea, ayo coba gambar apa yang ada di pikiranmu,” kata Dokter Puspa sambil meletakkan kertas dan pensil itu di depan Gea.

Gea meraih pensil itu dan mulai menggambar sosok pria yang sedang memeluk anak wanita. “Ini ayah, tapi Gea lupa dengan wajahnya. Apa ayah akan marah dengan Gea karena lupa, Dokter?”

“Tidak akan, Gea. Ayahmu pasti senang dan bangga melihat Gea menggambar dirinya. Itu artinya Gea masih ingat dan sayang sama Ayah.”

25 Juni 1998

Ini adalah hari ulang tahun Gea. Dokter Puspa membawakan sesuatu yang istimewa untuknya. Sebuah boneka beruang kecil dengan pita pink di lehernya.

“Gea, ini hadiah untukmu. Boneka ini bisa jadi temanmu kapan pun kamu merasa sendirian,” kata Dokter Puspa sambil menyerahkan boneka itu.

Gea menerimanya dengan hati-hati, seolah-olah boneka itu adalah sesuatu yang sangat berharga. “Gea kasih nama apa ya dokter?”

“Hmm.. kamu bisa pilih nama yang membuatmu bahagia.”

Gea berpikir sejenak, lalu tersenyum kecil. “Gea mau kasih nama Lili, seperti bunga kesukaan Ayah.”

Sejak saat itu, Lili menjadi bagian penting dari terapi Gea. Ketika Gea merasa cemas atau takut, Dokter Puspa mengajaknya berbicara melalui Lili, membuat Gea lebih mudah mengungkapkan perasaannya.

9 November 1998

Bulan demi bulan berlalu, perlahan Gea menunjukkan kemajuan. Ia mulai lebih sering berbicara, meski masih ada hari-hari di mana ia tenggelam dalam dunianya sendiri. Dokter Puspa tidak pernah menyerah, dan selalu percaya bahwa suatu hari nanti pasti Gea akan sembuh.

“Gea, kalau suatu hari kamu sudah tidak di sini lagi, apa yang ingin kamu lakukan?” tanya Dokter Puspa saat mereka duduk di taman belakang rumah rehabilitasi.

Gea tersenyum tipis, memeluk Lili. “Gea mau pulang, Dok. Mau ke rumah Ayah lagi.”

“Kita bisa wujudkan itu suatu hari, Gea. Tapi kamu harus kuat dulu, ya. Ayah pasti mau lihat Gea bahagia.”

Terapi bersama Dokter Puspa menjadi titik terang dalam hidup Gea. Meski perjalanan menuju pemulihan penuh lika-liku, kehangatan dan kesabaran Dokter Puspa mulai membangun kepercayaan Gea pada dunia luar.

Suatu hari, Gea berdiri di depan kaca kamarnya, memandang pantulan dirinya sendiri sambil menggenggam Lili. Ia berbisik, “Aku harus sembuh. Biar Ayah lihat kalau aku bisa bahagia lagi.”

Dan untuk pertama kalinya sejak sekian lama, Gea merasa ada harapan yang menyala di hatinya bagaikan percikan api.

16 april 2001

Gea telah berhasil melewati masa-masa susahnya. Ia melewati hari-harinya di rumah rehab ini seperti rumahnya sendiri, rumah tempat pulang, untuk menceritakan hal-hal kejam di luar sana. Dokter Puspa sudah dianggap seperti sang bunda oleh Gea, begitupun sebaliknya, Dokter Puspa menganggap Gea adalah anaknya. Kedekatan mereka menyiptakan hubungan hangat seperti anak dan ibu diluar sana.

Hari ini adalah pengumuman hasil tes Gea. Setelah seminggu lalu ia diantar Dokter Puspa untuk melakukan tes masuk perguruan tinggi. Ia mendaftarkan diri di suatu Universitas yang tidak jauh dengan rumah rehabnya, yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB). Dengan jurusan yang sangat ia inginkan dari kecil, yaitu Teknologi Pangan.

Surat hasil pengumuman itu sudah berada di tangan Gea, tapi Gea enggan membukanya. Ia takut hasilnya mengecewakan. Sebelum ia membuka surat tersebut ia berkata kepada sang dokter. “Dokter apapun hasilnya, terimakasih sudah membantu Gea melewati kesulitan ini. Maaf Gea belum bisa membalas apa yang dokter berikan.”

Dokter Puspa tersenyum dan meraih surat tersebut lalu membantu membukakannya. Seketika Dokter Puspa histeris dan berkata “Selamaaat, Gea sayang, akhirnya cita-citamu terwujud.”

Gea membuka mata dan membaca isi surat tersebut. Terpampang jelas dalam surat tersebut tertulis ‘Selamat Anda dinyatakan lolos tes perguruan Tinggi’.

Seketika Gea ikut histeris, sambil berbisik pelan, “Ayah, harapan kecil Nona sekarang terwujud.

Ruangan itu menjadi saksi atas keberhasilan Gea, setelah melalui berbagai rintangan dan cobaan. ()

Bagikan:

Penulis →

Ghina Safinatunnajah

Pelajar. Tinggal di Bogor, Jawa Barat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *