Seekor Kucing dan Majikan Perempuannya


“PERAWAN ya perawan saja! Tak ada istilah perawan tua! Hanya orang-orang dungu yang demikian jahat tega menyebut dengan panggilan itu!”

Ia meletakkan gagang telepon dengan keras, setengah membantingnya. Bibirnya berkedut-kedut seolah sedang bersungut-sungut. Matanya nyalang menatap keluar jendela. Ada percik kemarahan dan kesedihan di sana. Aku hanya berdiri diam tak jauh dari tempat ia duduk, menatapnya dengan tenang sampai ia menoleh ke arahku. Tatkala menatapku itu, matanya yang suram berbinar. Senyum merekah di bibirnya.

“Kemarilah, Manis…”

Dia melambaikan tangannya ke arahku. Dengan cepat aku melompat ke pangkuannya dan sesekali mengeong. Tangannya dengan lembut mengelus-elus buluku.

“Kau tahu, Manis? Di luar sana banyak sekali mulut-mulut yang jahat. Baru saja satu di antaranya menelponku. Dia mengatakan bahwa seharusnya aku secepatnya menikah. Katanya aku sudah demikian tua. Dari mulutnya itu dia juga berucap kalau aku sudah menjadi seorang perawan tua. Heeeh! Betapa dungunya orang itu,” sejenak dia berhenti mengelusku. Kurasakan napasnya sedikit memburu, tentu dia teramat kesal dengan orang yang baru saja menelponnya. “Sesungguhnya bukan dia saja yang berpikiran seperti itu. Melainkan banyak lagi. Waktu aku berumur dua puluh lima  tahun dan belum juga memiliki kekasih, orang-orang menganggap seolah apa yang kulakukan tak lebih dari sebuah kesalahan. Kini di usiaku yang lebih empat puluh tahun, aku dicap mereka sebagai perawan tua! Coba bayangkan, betapa jahatnya mereka itu.”

Aku mengeong, membenarkan apa yang ia ucapkan. Memang orang-orang itu demikian jahat kepadanya. Aku sering mendengar percakapannya dengan beberapa orang jahat itu. Mereka kerap mengolok-olok majikanku ini. Bagi mereka, Nyonya Magenta tak pernah bahagia. Majikanku dipandang menderita lantaran tak memiliki suami atau anak. Mereka kerap menduga bahwa Nyonya Magenta kerap berdusta ketika tertawa.

“Apakah bahagia hanya hidup ditemani seekor kucing?” tanya seorang kawannya saat berkunjung ke rumah.

“Tentu saja. Manis teramat manis seperti namanya. Dia kucing yang ramah dan hangat.” Nyonya Magenta menjawab sembari menyentuh kepalaku. Kali itu aku duduk di dekat kursinya.

Mendengar jawaban Nyonya Magenta, bukannya takjub, sahabatnya itu malahan terkekeh. Dia menertawakan jawaban Nyonya Magenta yang dirasa cukup aneh.

“Sejak kapan seekor kucing bisa ramah dan hangat? Mereka binatang pemalas!”

Mendengar jawaban kawan Nyonya Magenta itu, ingin sekali aku mencakar mukanya. Tapi tentu kuurungkan, kuhindari betul melukai orang-orang di sekitar nyonyaku. Khawatir jika kulakukan, akan menimbulkan rasa kecewa di hati Nyonya Magenta.

Nyonya Magenta segera memberikan pembelaan untukku. Dikatakannya bahwa kawannya itu tak mengerti perasaan pecinta binatang. Kucing, meski tak bisa berkata-kata dengan manusia, tapi tetaplah bisa mengerti apa yang dilakukan manusia. Setelah hari itu, kawan Nyonya Magenta yang menyebalkan tak pernah berkunjung lagi. Dan waktu-waktu selanjutnya Nyonya Magenta lebih kerap menjalani hidupnya seorang diri, tentu ada diriku yang menemani di sampingnya, sejak sebelum subuh sampai kami harus lena di atas tilam.

Menjaga Nyonya Magenta memang sebuah kesenangan. Aku selalu bahagia memiliki majikan sepertinya. Pagi benar Nyonya Magenta sudah bangun dari tidur, membasuh wajah dengan air dingin kemudian menyekanya dengan handuk kecil yang selalu digantung di dekat wastafel. Lalu dengan bersenandung kecil dia akan mulai menjerang air, tak lama setelahnya aroma kopi akan meruap memenuhi ruangan dapur. Aku akan mengikutinya terus, berjalan pelan dan sesekali meloncat-loncat lantaran rasa girang, terlebih saat Nyonya Magenta sesekali memanggilku dengan demikian sayang dan menuangkan makan pagiku di mangkuk khusus milikku. Ditemani secangkir kopi, Nyonya Magenta akan mulai bekerja. Senandungnya masih terdengar ketika dia memasang kanvas lukis baru dan mulai menuangkan segala macam warna di atasnya. Dari tempatku makan, aku akan selalu menatapnya. Dalam diriku yang berbulu ini, kerap kali aku bersyukur kepada Tuhan bahwa Dia telah bermurah hati menciptakan sesosok manusia seperti Nyonya Magenta.

ooOoo

Pertemuanku dengan Nyonya Magenta terjadi dua tahun lalu. Hujan baru saja turun dengan deras, ketika kaki kananku terperosok di lubang kecil pembuangan air. Aku berteriak-teriak, mengeong sekencangnya agar ada yang membantu mengeluarkan kakiku yang terjepit di lubang kecil pembuangan air itu. Sejak lahir aku telah dipisahkan dari indukku. Ditaruh di kardus bekas air mineral, aku ditelantarkan di pasar. Mungkin pikir majikan indukku itu, aku akan mudah hidup jika dibuang di pasar. Tetapi hidup di pasar sebagai kucing buangan bukan perkara gampang. Kerap kali aku diusir ketika tidur. Ditendang lantaran dituduh hendak mencuri dagangan pedagang ikan. Sering aku kena guyuran air dari pedagang-pedagang yang merasa geli melihat seekor kucing sepertiku. Di pasar banyak makanan, tetapi juga demikian menyedihkan. Pernah seorang anak kecil yang baik hendak membawaku pulang, tapi ibunya segera melarang. “Itu kucing kotor, bawa penyakit!”

Tuhan menciptakan miliaran kucing di atas muka bumi ini, namun mengapa aku harus terlunta-lunta? Bahkan sampai akhirnya kakiku terperosok di lubang kecil penutup parit pembuangan air. Aku tak tahu benar berapa lama aku menjerit-jerit meminta pertolongan dan tak ada seorang pun yang mendengar. Badanku kuyup, kurasakan seluruh badanku menggeletar lantaran dinginnya air hujan. Sampai akhirnya, ketika aku merasa mungkin sebentar lagi mati, seorang perempuan menghampiriku. Di bawah payungnya yang berwarna terang, kedua matanya menatapku dengan rasa kasihan. Aku mengeong, tak sekeras tadi lantaran lelah dan lapar.

“Kasihannya kau, Manis. Marilah kubantu…” Perempuan itu berjongkok dan berusaha membantuku terbebas dari lubang kecil penutup buangan air.

Namun tampaknya dia sedikit kesusahan. Tangan kanannya memegang gagang payung, sedang di lengan tangan kirinya tergantung sebuah kanvas lukis berukuran sedang. Lukisan itu menggambarkan keadaan sebuah pasar. Melihat gambar pasar, aku mengeong-eong lantaran teringat tendangan dan guyuran-guyuran air dari para pedagang.

“Tenanglah. Sebentar lagi kau bisa keluar. Nah kan! Kau bisa keluar. Marilah ikut denganku. Kasihannya kau kucing manis.”

Dia menggendongku dengan sedikit kerepotan, tapi aku tetap dibawanya pulang. Di perjalanan menuju rumah dia mengenalkan diri bahwa namanya Magenta. Rumah miliknya tak terlalu besar, tetapi terlihat rapi dengan segala macam benda yang mengisi dalamnya. Nyonya Magenta segera membersihkan diriku. Dimandikannya aku dengan air hangat, lalu diberikannya susu.

“Kini kau menjadi temanku. Jadi keluargaku. Kupanggil kau Manis. Kau tak keberatan hidup denganku bukan? Aku hidup sendiri, tak ada keluarga di dekatku.” Ujar Nyonya Magenta saat menungguiku meminum habis susuku.

Mulai hari itu aku menjadi bagian dari hidup Nyonya Magenta dan sebaliknya, Nyonya Magenta menjadi manusia satu-satunya yang kupercaya. Hampir setiap sore jika cuaca bagus, Nyonya Magenta mengajakku keluar ke taman. Di sana aku bebas berlarian tanpa takut ada yang kurang ajar menendang atau mengguyur dengan air. Seringkali aku diajak berbelanja, menemui seorang dokter hewan langganan atau sekadar menghabiskan waktu dengan duduk santai di beranda rumah.

ooOoo

Tak seperti biasanya Nyonya Magenta bangun lebih siang. Memang beberapa hari belakangan, ia kerap bangun lebih siang. Jika sebelumnya dia selalu bangun sebelum subuh, beberapa waktu lalu Nyonya Magenta bangun selepas subuh, hari berikutnya baru beranjak dari ranjang ketika matahari sudah sedemikian terang. Kuperhatikan memang Nyonya Magenta agaknya tak sesehat dulu. Batuknya tak kunjung reda, dia tak lagi bersemangat melukis seperti biasanya. Lima hari setelah ramuan herbal yang selalu dia minum tak menunjukkan hasil, Nyonya Magenta pamit ingin menemui dokter langganannya.

“Aku priksa ke dokter dulu ya, Manis. Kau di rumah saja. Baik-baiklah, nanti aku akan segera pulang.”

Menggunakan syal kelabu kesukaannya, Nyonya Magenta pergi ke dokter, meninggalkan diriku seorang diri di rumah. Cukup lama aku menunggunya kembali dari tempat dokter. Tatkala kudengar suara pintu depan dibuka, aku berdiri dengan girang. Dengan cepat aku berlari keluar, kulihat Nyonya Magenta masuk ke dalam. Dengan rasa sayang kuusapkan kepalaku ke kakinya. Dia tertawa kecil, lalu mengajakku ke dapur. Nyonya Magenta menuang air minum ke dalam gelas, lantas ia membuka plastik berisi pil-pil berwarna terang. Ditelannya pil itu.

“Kau lapar, Manis?” tegur Nyonya Magenta menoleh ke arahku.

Aku mengeong perlahan, kemudian membuntutinya ketika ia menuangkan makanan kucing ke dalam mangkukku. Lagi-lagi tak seperti biasanya, Nyonya Magenta menuangkan makanan kucing jauh lebih banyak dari biasanya.

“Kau makanlah. Aku akan rehat barang beberapa jam.” Ucap Nyonya Magenta sembari berjalan ke arah kamar.

Nyonya Magenta selalu membiarkan pintu kamarnya terbuka. Dengan membuka pintu kamarnya lebar-lebar, aku leluasa masuk dan keluar kamarnya, sekadar untuk menemaninya tidur atau hanya duduk diam-diam di lantai kamar sembari mengamatinya saat tidur.

Tapi tidurnya kali ini, tampaknya Nyonya Magenta benar-benar lelap. Dia tak bergerak-gerak meski aku melompat ke atas ranjang. Sebelumnya jika aku berlaku begitu, Nyonya Magenta akan menggerakkan badannya, membuka matanya perlahan dan terlelap kembali. Namun kali ini dia tak bergerak-gerak bahkan sampai keesokan harinya. Aku mencoba mengeong membangunkannya, tetapi tak membuahkan hasil. Nyonya Magenta masih saja terlelap. Lantas kuamati benar dia, tak kutemukan napas yang keluar dari hidungnya. Aku menjerit agar ia mendengarkanku dan membuka mata. Wajah Nyonya Magenta mulai berubah, wajahnya menjadi demikian pucat, bibirnya membiru.

Kali ini aku mengeong-eong di jendela, berharap ada orang yang lewat dan melihatku lantas datang ke rumah, membantu Nyonya Magenta. Tapi tampaknya orang-orang tak peduli, mereka hanya menoleh sekilas dan berlalu. Aku mulai mencakar-cakar jendela untuk lebih menarik perhatian, namun tetap tidak ada yang datang. Sekujur badan Nyonya Magenta mulai membiru. Aroma tak sedap mulai menguar mengisi sudut-sudut rumah. Aku masih mengeong-eong, berkeliling ke pintu depan dan belakang, mencakar-cakar jendela dan berusaha menarik perhatian orang.

Menuju malam hari tubuh Nyonya Magenta mulai menggelembung. Aku menjerit-jerit lantaran sedih melihat majikanku seperti itu. Kupikir Nyonya Magenta benar-benar sedang kesakitan. Aku masih berusaha mengeong, tetapi suaraku tak selantang kemarin. Tubuhku mulai lemas tapi aku masih berusaha mengundang perhatian orang-orang, berharap agar mereka datang dan membantu membawa Nyonya Magenta priksa ke dokter langganan.

Lalu semuanya secara tiba-tiba menjadi gelap. Tampaknya aku tertidur, cukup lelap. Tak lama suara itu, yang kukhawatirkan beberapa hari belakangan terdengar lagi. Suara Nyonya Magenta, kurasakan tangannya mengguncang tubuhku.

“Manis, bangunlah. Ayo, bangun!” Nyonya Magenta berjongkok di dekatku. Wajahnya secerah dulu, sebelum ia jatuh sakit. “Marilah kita berjalan-jalan ke taman. Kau tentu sudah penat berada di rumah terus beberapa hari ini.”

Segera aku meloncat ke dalam gendongannya. Aku mengeong-eong beberapa kali, bersyukur bahwa Nyonya Magenta tak sakit lagi. Namun kemudian aku heran, melihat diriku sendiri tertidur di depan pintu, di samping sofa ruang tamu, sedangkan tubuh Nyonya Magenta masih terbujur di atas ranjang. Tetapi kemudian aku tak begitu peduli, Nyonya Magenta yang bertubuh segar ini mengajakku keluar, berjalan-jalan ke sebuah taman.[]

Yogyakarta, 2020

Bagikan:

Penulis →

Artie Ahmad

Lahir dan besar di Salatiga. Saat ini dirinya tinggal di Salatiga. Beberapa cerita pendeknya dimuat di media massa. Buku terbarunya ‘Risalah Teh dan Tiga Keluarga’ diterbitkan Falcon Publishing.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *