Maaf Malam
malam telah tertidur pulas saat malam pulang.
malam tak ingin menelpon malam,
sebab akan mengganggu tidur malam
dan meruntuhkan segala mimpi malam.
malam mohon maaf sebab malam pulang malam.
semoga malam memaklumi dan memaafkan malam
sebab malam larut pulang.
malam memasuki malam, dideretan kantuk malam
yang tak tertahankan malam.
malam sayang, malam tetap padamu malam.
tak ada malam yang lain selain malammu.
malam diriku malammu jua,
segala malamku malam kita satu ke dalam malam.
malam, mimpi indahlah dalam tidur malam.
/malam lima, Ogust 19.24
Kunang Malam
Dari sisa malam,
kupetik kunang-kunang,
dan malam jadi senyap.
Pada setiap serat malam renyah,
kuraih lagi hari-hari berlayar pergi
meninggalkan laut dan muara:
tak ada yang perlu disesalkan, katamu.
sebab kuda jantan telah dilepas
ke padang-padang kembara
dalam sengkarut yang tak pupus, tak usai.
Pada lembut malam,
kugamit tangan resah masa silam
menuruni bukit-bukit,
menembus jarak pandang yang tak jauh,
sebab rindu mesti dibayarkan.
/09.24
Rupa Musim
Katamu suatu negeri serupa musim
Memanas darah bersemi rindu
Gugur waktu serupa bunga-bunga salju
Berguguran di balik bukit-bukit Praha
Lalu janji bunga tulip meranggas.
Kelak kita kan bertukar lidah di dahan-dahan cemara,
Meranumkan rindu diperam waktu, di Praha.
Bisikmu!
/Juli 14.23.
Rindu Roh Tua
/t.m.
1./
rinduku senja di balik langit kamarmu.
melolong, meneteskan airmatanya jatuh di gerigi.
meski mulanya hanya bisik, namun lidah langit kalut,
meratapi nasib takdir berlalu, melebihi jatuhnya embun
di lengkung langit sore rabun malam.
burung malam saja tak tahu dari mana peta retakmu
dari langit senja menuruni pelangi. saat laut biru
melebarkan sayapnya; kaukah perempuan surgawi
kubaca dalam almanak tua, warisan para nabi,|
kelak menuntunku ke dangau sepi di tengah savana
lalu telaga ungu tua, mengecupkan kening rindu terbakar
karena mencarimu dalam abad-abad serapuh angin.
ranum malam mendamparkanku ke tepi hari,
bulan malam menunggang badai dan gelombang laut pasang,
memapah tubuhku ke pantai rindu tak sudah-sudah,
penantian menjadi beku seperti sepi api ke tepi
lalu menuntunnya kembali ke tiada.
2./
hanyut aku dalam sakit arus sungai bergelora.
peram asmara tak sampai, memahat tubuhku ringkih.
kuselami jalannya dari perih ke perih, menahan hasrat purba,
walau hanya kerdip kunang-kunang di sesap malam.
lalu diam-diam bisikmu, menguburnya tak pernah tau,
kepada siapa kelak menggelepar rinduku di jalan sepi,
sepupus kabar dan kesaksian kau kirim dari rintih langit,
mengobarkan dendam meracuni burung terbang sore hari.
sudahlah, airmata telah beku, sujud senyap hingga ke ujung,
walau tiada batas tepi kesabaran, hingga waktu beku
turunlah salju, mengecup keningku patah di reranting
karam rinduku dihempas badai malam, berharap tanganmu
kelak merengkuhku, melebur gunung bebatuan di dadaku.
hari datang beranjak pergi, membawamu kereta pagi,
dalam peluk resah subuh, kunanti bisikmu dari hujan
membawaku mengembara ke senyap terik Sahara,
berharap tangan malaikat, mengurut keningku
dengan kecupan cahaya bola matanya. seketika itu
kulihat serpihan surga berjatuhan pula dari matamu,
dan musim mengawinkan kita dalam ganjil kalender tua,
di ujungnya, hanya debar geletar purnama.
/Yk-Sedayu, 15.23.