Memori

WANITA itu membuka matanya pelan setelah entah berapa jam tertidur. Dilihatnya laki-laki yang duduk di samping dengan sikap sangat formal namun tetap terlihat hangat. Sang wanita tidak menunjukkan raut terkejut dengan keberadaan pria itu seolah memang tidak akan ada orang lain yang akan berada di sisinya selain dia. 

“Kamu tidak tidur?”

“Tidak. Aku masih kuat,” sang pria menggenggam Wanita yang terbaring itu.

Shin Hye memang pernah memberitahu bahwa dia tidak akan hidup hingga usia tua seperti kebanyakan orang. Dua tahun lalu, dokter memprediksi usia wanita itu hanya tinggal beberapa tahun lagi. Namun laki-laki itu tetap tak menyangka Shin Hye kini benar-benar lemah tak berdaya di depan matanya. Rambut-rambutnya yang seperti sungai Han mulai berguguran.

Wanita itu mencoba mengarahkan pandangan ke pergelangan tangan kiri sang pria untuk memastikan sesuatu. Namun dia gagal. Apa yang dicarinya terhalang lengan baju panjang yang dikenakan laki-laki tersebut. Sang pria yang menangkap maksud Shin Hye segera menarik lengan baju hingga pergelangannya terlihat lalu menunjukan sesuatu di pergelangan tangannya kepada Shin Hye. Terdapat garis seperti urat vena, namun lebih halus, lurus, dengan warna hijau yang terang.

Pandangan Shin Hye menuju ke langit-langit ruangan. Namun jari-jarinya bergerak. Dia seperti menghitung sesuatu.

“Sudah sepuluh hari sejak aku masuk rumah sakit. Kamu belum tidur sama sekali?”

Sang pria menggelengkan kepala.

Shin Hye tahu laki-laki itu mampu tidak tidur dalam waktu lama, namun tak menyangka dia akan terjaga selama itu.

“Sudahlah. Jangan pikirkan aku. Kamu tahu saat ini yang penting adalah kondisimu,” ujar sang pria sambil mempererat genggamannya pada tangan Shin Hye.

“Apakah semua orang Indonesia seperti kamu?”

“Apa maksudmu?”

” Kalian tidak memperdulikan diri sendiri.”

Shin Hye menanyakan hal yang sia-sia. Dia sudah dua tahun bersama pria itu dan sangat tahu wataknya. Sang pria akan menampik anggapan tersebut. Meski apa yang Shin Hye lihat selalu menegaskan sebaliknya. 

Namun kali ini sang pria menyatakan jawaban sedikit berbeda. “Aku pikir kita sebenarnya sama. Hanya saja, industrialisasi di masa lalu mengubah Korea Selatan menjadi sedikit individualis.”

“Itu ada positifnya, kan?”

“Aku tak menyangkal.”

“Ceritakan lagi tentang negerimu!”

“Aku suka warna kuningnya. Di negaraku tidak ada yang seperti itu,” ujar pria itu sembari menatap rimbunan dedaunan Gingko yang menguning di halaman rumah sakit dari jendela kaca di sisi ranjang Shin Hye. 

“Ya, aku tahu kau selalu menyukainya. Apakah kau masih ingat saat aku mewawancaraimu?” lanjut Shin Hye. “Ada satu hal yang membuatku langsung menerimamu.”

“Kau menerimaku karena aku bilang wajahmu mengingatkanku pada daun gingko. Tapi itu kukatakan karena kamu orang Korea. Hanya sebatas itu.”

“Ya. Aku suka itu. Baru pertama kali ada yang seperti kamu selama aku mewawancarai orang. Dan pertanyaan-pertanyaanku dalam wawancara itu selanjutnya hanyalah basa-basi. Aku sudah yakin akan menerimamu sebagai pegawai,” ujar Shin Hye sambil tersenyum manis.

Shin Hye teringat kembali bulan Januari dua tahun lalu. Dia membutuhkan seorang arsitek baru di kantornya. Tapi dia tidak mau lagi mempekerjakan “orang”. Dia beralasan bahwa mempekerjaan humanoid lebih menekan biaya. Padahal, Shin Hye hanya malas berinteraksi secara emosi dengan orang lain. Dia memang lebih suka menjalani apapun sendirian. Shin Hye sudah berjuang hidup sendiri sejak remaja.

Saat itu, ada beberapa yang melamar. Pilihan jatuh pada humanoid dengan personal Identity seseorang pria dari Indonesia yang hidup pada tahun 1991 s.d 2030. 

Berbeda dari dugaan Shin Hye. Dia justru sering mendapat “perlawanan” dari pegawainya itu.  Mereka sering berbeda pendapat dalam hal apapun. Tapi pada akhirnya, itu yang membuat Shin Hye makin menyukai pegawainya.

“Bagaimana mungkin seorang karyawan berani melawan atasannya. Kamu ingat perdebatan pertama kita?” 

“Ya. Kau mengomentari desainku. Kau bilang arsitek yang buruk adalah yang membiarkan adanya ruang tak berguna, meski hanya sebuah sudut,” jawab sang laki-laki.

“Dan kau menjadi marah karena itu. Kau bilang untuk apa aku mempekerjakanmu jika aku juga yang mengatur apa yang harus kau rancang. Kau sungguh aneh,” sambung Shin Hye dengan tawa. 

“Kita juga berdebat soal model rumah seorang klien dari Jepang. Aku sudah merancang dengan sempurna apa yang dikehendakinya. Namun kau justru mengkritik pekerjaanku, atasanmu sendiri,” tambah Shin Hye.

“Omong kosong. Klien Jepang itu sebenarnya tak tahu apa yang dibutuhkannya.” 

Dan mereka berdua pun tertawa.

“Aku menikmati momen-momen kita,” ujar Shin Hye. Wanita itu tiba-tiba diam. Raut wajahnya jadi menyedihkan. Air mata tiba-tiba membasahi kelopak matanya. 

Laki-laki itu merasakan sebuah gejolak emosi yang tinggi dalam diri Shin Hye. Ada ketakutan dalam diri wanita  itu. Dia enggan berpisah dengan sang pria. 

“Setelah aku tidak ada, apakah kamu masih akan mengingatku?” ucap wanita itu. 

Sang pria terdiam sejenak. 

“Shin Hye. Kamu tahu aku humanoid tipe S?”

Shin Hye menatap sang pria masih dengan mata yang basah. “Ya. Aku tahu.”

“Kamu tahu apa artinya itu?”

“Tahu. Artinya kamu adalah humanoid dengan persona dan memori seorang manusia asli yang pernah hidup. Kenapa memangnya?”

“Humanoid tipe S hanya memiliki lifetime 15 tahun.”

Shin Hye tampak terkejut dengan informasi tersebut. “Lalu apa yang akan terjadi setelah itu?”

“Secara otomatis mesin dalam tubuhku akan berhenti. Perusahaan akan menyimpanku lagi selama beberapa tahun sebelum aku dihidupkan ulang.”

“Jadi kau akan “tidur” lama?”

Laki-laki tersebut diam sejenak mencoba menahan emosinya yang ikut hendak meluap, sekaligus mencari penjelasan terbaik untuk disampaikan. 

“Bukan hanya tertidur. Memoriku juga akan terhapus.”

Penjelasan sang pria membuat Shim Hye terhenyak. Matanya membesar, detak jantungnya menjadi lebih cepat. 

“Jadi kau tidak akan ingat padaku?”

Laki-laki itu menganggukkan  kepala.

Shin Hye semakin tidak kuasa menahan air matanya. 

“Setiap kali aku dihidupkan lagi, semua yang ada dalam diriku diatur ulang. Aku tidak akan ingat apapun dalam “hidup” sebelumnya.”

“Hanya ada satu ingatan yang terus ada karena itu adalah memori dasar yang ditanamkan dalam diriku, yaitu bahwa aku adalah Panji. Aku seseorang manusia, arsitek, yang pernah hidup 70 tahun lalu di Indonesia. Memori keseluruhan hidupnya ditanamkan dalam diriku. Selain itu, tak ada ingatan lain,” lanjutnya.

Angin sejuk musim gugur yang berhembus di luar, juga irama melodi klasik menenangkan yang diputar di ruang rumah sakit, seolah tidak berarti lagi bagi Shin Hye.  Wanita itu justru diliputi ketegangan. Dia masih mencoba menahan diri dan terus mencoba mengatur nafasnya. 

“Aku sudah tiga kali “hidup ulang” , Shin Hye. Dan aku tidak punya ingatan kehidupan seperti apa yang sudah aku jalani. Maafkan aku.”

Tangis Shin Hye pecah tak terbendung. 

“Selama hidup, aku tidak punya siapa-siapa. Dan pada akhirnya ketika aku mati, tidak ada juga yang akan mengingatku.”

Dia membalikkan badan menatap keluar jendela memandang dedaunan kuning yang mulai gugur. Kini Shin Hye hanya berharap agar prediksi dokter segera terjadi. 

[*]

Bagikan:

Penulis →

Pandu Wijaya Saputra

Pernah menempuh pendidikan Sastra Inggris di Universitas Sebelas Maret. Saat ini, Pandu aktif bekerja di bidang Kebudayaan. Esai-esainya dimuat di berbagai media seperti kompas, detik, dan kumparan. Karya-karya cerpennya dimuat di Republika dan Detik. Buku yang pernah ditulis Pandu berjudul “Tak Ada Bintang di Angkasa” (2023) dan “Berjemur di Tepi Sungai Gyeongsan” (2024).

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *