1. Arte
Sesampainya di sebuah studio lukis, tempat kau menetap untuk beberapa pekan ke depan, kau memuka pintu dengan kunci duplikat yang si empunya berikan. Di dalam, meski sudah masuk untuk yang kesekian kali, kau tetap saja begitu terpukau pada lukisan-lukisan di sana, baik yang terpasang maupun yang hanya disandarkan menanti diselesaikan. Ah, aroma cat minyak yang menyentak! Kau berjalan masuk; menyusuri ruang penuh lukisan, ruang yang bukan hanya studio tapi juga tempat tinggal kediaman.
Ah, rupanya kau sudah pulang, ucap perempuan itu tak mengalihkan pandang dan tetap membaca seberkas kertas.
Aku sudah menyalakan bel, balasmu sambil melepas jaket, sudah mengucap salam di depan, tapi tetap tak ada jawaban…
Ia hanya mengangguk-angguk, dan tetap melanjutkan membaca—
Kebiasaanmu tak berubah sama sekali, ya, ucapmu sambil duduk di hadapannya. Tak pernah genap berpakaian, dan tanpa izin membaca tulisan yang sedang kukerjakan.
Perempuan itu merapikan kertas, dan berkata padamu:
Apa kau tahu, bekerja dan melakukan sesuatu yang disenangi tanpa genap berpakaian adalah hal yang menyenangkan. Toh, aku masih berpakaian; meski tipis dan minim. Bukankah, ketika kau mengarang, kau juga jarang memakai genap pakaian?
Ia mengakhiri ucapan dengan tawa; dan kau tak genap bisa berkata-kata—
Kukira, kau hanya kembali menulis novel, lanjutnya. Ternyata, kau juga menulis cerpen, ya? Kukira, ketika aku sibuk melukis, kau menulis laporan sekolah atau tugas untuk siswa yang kau tinggalkan di negeri selatan; ternyata kau benar-benar menulis fiksi kembali.
Begitulah.
Sebagai pembaca cerita-ceritamu, harus kuakui kau melakukan eksporasi yang cukup jauh; dan menyenangkan. Namun, tidakkah judul yang kau berikan terasa pemelintiran dari karangan-karangan yang sudah besar? Lihatlah ini, “Matinya Pengarang Kecil”. Bukankah variasi dari judul ini sudah banyak dipakai? Ambillah esainya Llosa? Dan ini, “Pemuda dan Sebuah Pantai di Negeri Utara”; tidakkah ini adalah variasi The Old Man and The Sea yang kau buat menjadi A Young Boy and The Beach?
Namun, bukankah isinya berbeda, dan bukan hanya pembalikan?
Ya. Dan aku menyukainya.
Dua cerpen lainnya bagaimana, “Lelaki Tua di Negeri Sepi” dan “Trubadur yang Mencintai Seorang Pelacur”?
Aku menyukainya, jawab perempuan itu. Dan kurasa, semua cerpenmu memiliki benang merah dan keterikatan dengan sosok Sontani. Namun, aku ingin bertanya… Tidakkah aneh, kau mengarang lebih dulu dan baru melakukan apa yang ada di dalam karangan? Ya, aku paham, narator dan tokoh fiksi berbeda dari pengarangnya; tapi aku sungguh penasaran.
Aku menulis apa yang hendak aku-narator dan aku-tokoh akan lakukan. Lalu, selepasnya, setelah kucoba, akan kuperbaiki atau kuperbarui karangannya.
Menarik, sahutnya.
Dan dari saku kemeja, kau keluarkan rokok dan korek api, dan berucap:
Terima kasih…
Ia tampak senang; mengambil sebatang, menyalakan. Ia melihat isi bungkus rokok. Dan selepas beberapa embusan, padamu ia menyuguhkan:
Di sana, kau menghabiskan sebatang, kan? Siang ini, temanilah aku. Di sana, kau berbagi sebatang dengan lelaki yang berbaring dalam pemakaman; tetapi kini kau mau tak menemani perempuan yang hidup dan ada di depanmu? Ayolah…
Kau pun mengambil sebatang dan menyalakan—
Jadi bagaimana?
Di sana, aku meletakkan sikat bunga, mengirim doa, dan berbagi rokok.
Dan bercakap-cakap?
Ya. Dan kurasa, rokok di sini tak seenak di negeri kita sana.
Aku tak memungkirinya, Bung.
Perempuan itu berdiri, mengambil asbak dari ruang sebelah.
Apa kau masih sering menziarahi makam adikku?
Masih, jawabmu sambil menjatuhkan abu rokok ke asbak.
Tiap pulang, aku selalu menyempatkan diri ke makam, dan selalu mendapati bunga bertabur atau basah batu nisan, ucap perempuan itu sambil memandangi hilang asap rokoknya ke udara. Kau tahu, dia dan aku tak memiliki hubungan darah; kami besar di panti asuhan yang berbeda, dan disatukan jadi saudara, sebab seorang dramawan-perupa mengangkat kami menjadi anak-muridnya… Karenanya, kami jadi saudara; aku mewarisi jalan perupa, dan dia mewarisi jalan aktor. Dan bukankah konyol, kau dan kami bertemu di fakultas yang sama? Nasib atau apalah namanya memang sulit diterka, ya?
Kau sering pulang, dan tak mengunjungiku?
Kau guru. Dan kurasa, kau begitu sibuk.
Aku mengenalmu dan kuyakin ada alasan lain… Sebab belum kuasa menerima masa silam?
Agaknya iya…
Ia pun menyulut lagi sebatang rokok dan menyambung ucapan:
Ah! apa kau ingat pertemuan pertamamu dengan adikku?
Aku ingat. Kau memintaku jadi model lukisan telanjang, dan adikmu masuk; dan mendapati pelukis dan yang dilukis sama-sama hampir telanjang.
Perempuan itu tertawa; teringat genap seluruh kejadian—
Kau tak bilang, studiomu adalah kamar kalian berdua. Aku tahu, tolol benar aku waktu itu dengan mengiyakan permintaanmu.
Namun, agaknya dari sana, ucapnya sambil merampungkan tawa, kita bisa jadi akrab dan karib; lebih dari sekadar saudara dan kawan…
Ya, tak kupungkiri.
Kau masih punya utang, bukan?
Sudah aku genapi.
Dengan mengirimkannya ke sayembara ibukota?
Ya. Dengan serangkaian penyesuaian.
Sayang sudah kau kirimkan… Namun, kuharap menang; dan lekas diterbitkan; sehingga bisa segera kubaca.
Hening seketika; dan rokok kalian sudah habis semua—
Ah, aku ingat, tadi buat kopi, tapi lupa kuminum, karena hanyut membaca cerpen-cerpenmu. Jadi, apa kau mau kuambilkan? Kalau mau, akan kupanaskan.
Kau pun mengiyakan. Dan perempuan itu pun bangkit, menyalakan sebatang lagi, menuju dapur yang tak jauh dari ruang. Dan kau melihat lukisan yang ada di sekeliling; hanyut pada lukisan yang hadir di situ. Kau teringat sebuah buku biografi pelukis terkenal yang kau baca; dan kau mengamini beberapa hal dalam buku itu: Lukisan itu memang aneh, tapi kita sama sekali tak tahu apa yang aneh dari lukisan itu, tak tahu apa yang membuatnya aneh…
Ia pun datang sambil membawa dua buah cangkir kopi yang diracik sendiri dan dipanaskannya kembali. Dan sebab mendapatimu yang terpukau-hanyut memandang lukisan, ia sama sekali tak ingin menganggu. Kau yang menyadari kedatangan segera berbalik, dan melihat wajah perempuan itu—
Ini kopimu.
Kau kembali duduk, mengucap terima kasih, lantas mencicipi kopi itu. Ia pun menyalakan kembali rokoknya—yang tadi padam di dapur. Ia memintamu menemani merokok lagi; dan kau menyalakan sebatang lagi.
Apa kau suka lukisanku?
Ya. Aku selalu suka pada lukisanmu.
Apa yang kau lihat dari lukisan itu?
Aku ragu, tapi kulihat gurun yang beku.
Bukan salju?
Bukan salju.
Perempuan itu menyeruput kopinya; dan tampak begitu menikmati.
Apa kau pernah ingin melukis neraka?
Seperti Yoshihide-nya Akutagawa?
Ya. Kurang lebih.
Aku lupa persisnya, ucapnya. Namun, kukira, aku pernah punya keinginan itu.
Lalu, bagaimana gambaran neraka menurutmu?
Seperti panggung Menunggu Godot karya Beckett, jawab perempuan itu terkenang setting pertunjukan adiknya dahulu. Ah! apa kau membayangkan neraka itu seperti kamar karya drama Sartre, “Pintu Tertutup”?
Bukan. Aku bayangkan neraka adalah padang bunga berwarna merah.
Dan penghuninya merasa kesepian?
Kau mengangguk, mengiyakan. Dan selepas itu, tak genap ada percakapan; kau dan perempuan itu menghabiskan rokok dan kopi; dan dari jendela tampak daunan yang gugur. Dan saat mendapati gugur daun terakhir dari sebuah pohon, kau mengajukan sebuah pertanyaan:
Satu hari dari sini, ada kota bernama sederhana, kota di mana dulu tinggal seorang bernama Kafka. Lalu, jika aku memintamu membakar semua tulisanku itu, apa kau akan membakarnya?
Aku bukan Max, jawabnya mematikan rokok. Dan kau belum akan mati…
Namun, kalau kita mati, ucapmu pelan, apakah kita akan masuk neraka?
2. Rose
Angin berembus lembut, dan membangunkanmu dari mimpi berulang tentang pantai tanpa laut. Sepasang matamu terbuka dan mendapati perempuan itu tengah berdiri memandang jendela terbuka, memandang jauh ke luar sana. Angin kembali lembut berembus, meniup gorden serta rambutnya yang sama-sama tak sedang terikat. Ah, hanya dipakainya kutang dan pendek celana; dan tampaklah beberapa tato yang biasanya tertutup oleh kaos atau kemeja, oleh rok kain atau panjang celana. Meski begitu, kau amat hapal tiap-tiap letak tato yang melekat pada tubuhnya, bahkan bila tanggal seluruh pakaian. Namun, tiap kali melihat sebuah dari yang sekian, kau tetap saja terpukau, seperti baru pertama kali melihatnya…
Betapa, tato yang melekat di tubuhnya lebih layak disebut sebagai rajah dan tuah, dibanding hanya gambar dan rupa digelar. Dan amat kau ingat pada siapa saja perempuan itu membuat tato; yang tak lain dan tak bukan adalah pada para dukun dan shaman, dan bukan kepada penato-seniman. Ia datang pada dukun dan shaman, lantas berkata: Buatkanlah rajah yang bisa mengusir kesepian. Mereka kebingungan; beberapa menolak, dan beberapa yang lain membuat yang mendekati permintaan—
Sepasang matamu kian genap terbuka; dan kau lihat sepasang mata perempuan itu: sepasang mata kemilau yang sama saat mengajakmu membuat rajah penangkal kesepian. Ah, kau ingat, ia berjanji akan berhenti membuat tato dan rajah jika kau mau turut ditato. Maka, saat itu, kau mengiyakan; dan jika seluruh rambutmu digundul, akanlah tampak sebuah rajah yang serupa dengan yang ada tepat di tengkuk perempuan itu. Dan, saat selesai membuat tato itu, dalam perjalanan pulang, kau berkata padanya: Bukankah Iblis dalam kisah Dokter Faust atau dewa-dewa dalam Ramayana dan Mahabarata tak bisa mengobati kesepian? Dan, saat itu, ia tersenyum padamu, senyum yang begitu manis; dan berkata:
Aku tahu, dan aku memang ingin mengolok-oloknya.
Iblis dan dewa juga kesepian, kan? ucapmu pelan.
Ia menoleh, mendapatimu genap terjaga: duduk dan memandangi dirinya.
Kau baru tidur selepas subuh, kan? Jadi, tak kubangunkan lekas.
Sebuah senyuman dan anggukan kau berikan padanya sebagai balasan. Perempuan itu mundur; duduk di sofa yang menghadap jendela. Kau, setelah genap memakai kemeja, mendatanginya dan lekas duduk di sampingnya; dan ia segera meletakkan kepalanya ke pundakmu.
Saat berdiri di sana, kau serupa lukisan “Pengembara di Lautan Kabut”…
Casper David Friedrich? Bukankah sudah cukup siang, dan tak ada kabut?
Setidaknya, komposisinya hampir sama. Memang, apa yang kau pandang?
Seharusnya, aku yang bertanya begitu…
Kenapa?
Kemarin, atau kemarinnya lagi, kau pulang malam dan menyelimutiku, kan? Saat itu, aku sejenak terjaga, dan mendapatimu berdiri lama menghadap jendela, jendela yang tirainya terbuka… Ya, seorang novelis yang diterangi cahaya purnama; dan aku bertanya-tanya apa yang sedang dipandang matanya.
Aku membayangkan seekor gagak raksasa mendatangiku…
Kau pemandang wajahnya; dan menangkap pinta lanjutan—
Gagak itu mengajaku berkunjung ke neraka, dan kuiyakan. Maka, terbanglah aku ke sana. Di sana, aku dapati padang penuh bunga merah yang terlampau luas, padang bunga yang menolak pengertian dari tepi. Dan pada sang gagak, aku bertanya, apa bunga-bunga ini adalah bunga-bunga dalam sajak Tuan Baudelaire? Dan gagak itu menjawab, “Mungkin saja.” Tak lama, pandang mataku tercuri kehadiran pelukis di salah satu sisi. Pelukis tua berwajah kera yang tengah melukis pemuda yang kesulitan memanjat benang tipis yang di ujungnya ada sejenis Nirwana. Dan pada sang gagak, aku kembali bertanya, apa itu Tuan Yosihide dan Tuan Kandata? Dan gagak itu lagi-lagi menjawab, “Mungkin saja.” Maka, pada sisi yang lain lagi, aku memandang, dan kutemukan seekor kecoa yang memakai kemeja; dan di dekatnya ada tas berisi contoh bahan pakaian. Ia memanggil dan kuhampiri; dan kami berbincang, meski lebih banyak ia yang bercerita, sambil menikmati kopi yang sangat mungkin tercampur racun.
Lalu? tanya perempuan itu meminta lanjutan—
Aku minta, agar kembali diantar pulang pada sang gagak, dan ia membawaku terbang menjauhi neraka. Saat sudah cukup jauh, aku hendak bertanya padanya, apa kecoa tadi adalah Tuan Samsa; dan gagak itu lekas berkata, “Mungkin saja.” Sesudah cukup jauh dari tempat bertanya tadi, sang gagak berganti mengajukan tanya padaku, apa aku mau berkunjung juga ke surga. Dan kukatakan, bahwa masih kumiliki setumpuk buku yang belum genap dibaca…
Lalu, menurutmu, apa di surga ada hantu?
Hantu hanya bisa melekat pada masa lalu…
Lalu, apa kau masih bermimpi tentang pantai yang terlampau luas itu?
Ya, aku masih bermimpi tentang pantai tanpa laut: hanya pasir dan pasir…
Kau mau ke pantai setelah dari pameran nanti?
Ya, jika kau mengajak.
Baiklah. Sore nanti kita ke sana. Oh, iya, mau kubuatkan teh?
Dengan cangkir kramik pemberian kawanmu yang namanya Melati itu?
Ya, ia juga memberi teh herbal dalam paketnya.
Perempuan itu pun bangkit dari duduknya, dan lekas menuju dapur.
Pandang matamu tertuju ke luar jendela. Ah! andai undangan itu datang di musim dingin, pastilah bisa melihat turunnya salju… Betapa, dengan mengingat musim dingin, kau jadi ingat penyair-pengarang yang dimakamkan kala musim beku: musim semi dikuburkan kala musim beku…
Tanpa genap kau sadar, perempuan itu datang dan meletakkan gelas keramik di meja kecil depan sofa; dan kau pandang pantul wajahmu di sana: wajah yang terasa asing, tapi juga begitu karib. Ia, perempuan yang bau tubuhnya amat kau hapal, duduk kembali di sampingmu; dan menikmati tehnya.
Kau memandang jauh lagi, ucap perempuan itu hangat. Apa yang kau lihat?
Membayangkan seandainya aku datang pada musim dingin.
Ah, ya, mungkin di sini takkan jadi dingin…
Perempuan itu mengeleng kepala pelan, mengusir angannya sendiri—.
Kau masih menyimpan boneka itu?
Masih, jawabnya lekas. Kenapa memang?
Hanya merasa, setengah keberuntunganku habis untuk mendapat boneka itu.
Kau masih tak mau memelihara anjing?
Ya, dengan alasan yang sama. Dan kau?
Masih sama juga. Tak pandai merawat apa pun…
Hening…, dan terdengar sebuah dering telepon! Kau pun bangkit menujunya. Perempuan itu mengangguk, mengiyakanmu. Dan perempuan itu kembali sendiri, kembali memandangi kejauhan lagi: menanti panggilan itu rampung-berhenti. Angin kembali berembus… Dan perempuan itu berucap pelan tanpa genap kau dengar: Di bawah kolong langit memang tak ada yang baru, tapi juga tak pernah ada yang benar-benar tuntas, termasuk duka; dan sialnya, aku masih punya ketololan untuk berani bermimpi bahagia.Kau kembali, dan duduk di sampingnya.
Panggilan dari masa depan?
Untuk sejenak kau terdiam, dan mengangguk kikuk. Namun, tak lama kau sadar, “masa depan” di sana bermuatan ganda: kias dan nyata. Ah, sana dan sini…, juga soalan tentang nanti. Kau pun memberi senyum, lalu lembut menjatuhkan diri pada pangkuannya; ia pun membelai kepalamu lembut—
Kalau bisa ke sini lagi pada musim dingin, aku ingin ke kebun binatang.
Kenapa? tanya perempuan itu begitu penasaran.
Aku ingin melihat jerapah di musim dingin. []
(2022—2024)